Suatu hari saya sedang berkumpul dengan beberapa guru sekolah minggu. Seorang dari
mereka menceritakan keluguan seorang anak sekolah minggunya. Sang anak setiap kali
berdoa makan, dia mengucap syukur untuk setiap lauk yang ada di piringnya: Tuhan Yesus,
terima kasih untuk nasi, untuk telur kecap, untuk ayam goreng, untuk sayur lodeh, dan juga
jus jeruk ini. Amin. Banyak dari orang-orang dewasa yang mendengar doanya tersenyum
simpul melihat tindakan “naif” sang anak.
Lugu dan naif, tapi beranjak semakin besarnya si anak, doa makannya dan doa-doa lainnya
mulai semakin “dewasa” seperti doa-doa kita pada umumnya yang abstrak, umum, tidak
spesifik, dan seadanya. Dia belajar dari orang dewasa bagaimana doa yang “seharusnya”,
yang tidak lagi mengundang senyum dan tawa dari orang-orang sekelilingnya.
Hmmm… Tapi bukankah kita yang harus belajar kembali berdoa seperti anak kecil? Tuhan
Yesus pernah berkata supaya kita menyambut Kerajaan Sorga seperti seorang anak.
Sepertinya dalam hal berdoa pun kita harus belajar dari anak kecil tersebut yang menghitung
setiap berkat satu per satu.
Salah satu alasan mengapa kehidupan doa kita kering dan hidup kita tidak penuh dengan
ucapan syukur adalah karena doa-doa kita terlalu abstrak dan umum. Hal itu dengan jelas
menggambarkan relasi kita dengan Tuhan yang sesungguhnya. Kita tidak akan berbicara
sesuatu yang terlalu pribadi, mendalam, dan spesifik kepada orang yang kita tidak kenal baik
atau dekat; kita akan bicara yang umum dan abstrak alias basa basi saja. Tetapi kita akan
sharing segala hal bahkan kadang hal yang tidak penting sekali pun dengan teman baik kita.
Tuhan selalu siap mendengar dan senang berkomunikasi dengan setiap anak-Nya, namun
sering kali kita yang terlalu terburu-buru. Ada suatu lukisan yang indah yang terus saya
ingat, yang tergantung di tembok gereja, lukisan seorang gadis kecil yang sedang berbisik di
telinga Tuhan Yesus yang sedang memangkunya dan ada tulisan di bawah lukisan itu “There
is no prayer too small for Jesus”. Jangan berpikir Tuhan seperti seorang CEO yang terlalu
sibuk sehingga kita hanya boleh datang kepada-Nya kalau membawa agenda doa yang sangat
mendesak atau sangat penting.
Tuhan Yesus mengajar kita untuk berdoa yang dimulai dengan “Bapa kami yang di sorga”,
sehingga Dia bisa dihampiri kapan saja, untuk hal seremeh apa pun seperti seorang ayah
yang selalu siap mendengarkan anaknya dengan tangan terbuka. Jadi, apakah kita akan terus
berbasa-basi dengan Tuhan dalam doa-doa kita? Ataukah kita mau menjalin relasi yang lebih
intim dengan Tuhan?