Yang satu diwarnai kekerasan; yang lain diwarnai keteduhan. Membandingkan The Shawshank Redemption dan Lars and the Real Girl secara sekilas, sulit membayangkan bagaimana dua film yang kelihatan begitu kontras ini memiliki kesamaan. Akan tetapi, ada satu unsur yang sama yang menjiwai keduanya. Keduanya dijiwai oleh unsur penebusan yang sangat kental. Bagaimana tepatnya penebusan hadir dan beraksi dalam kedua film ini, inilah yang akan kita bahas dalam artikel ini.
Manusia berdosa dan pengharapan: The Shawshank Redemption
The Shawshank Redemption menceritakan tentang seorang bankir, Andy Dufresne, yang secara keliru divonis bersalah membunuh istri dan pria simpanan istrinya. Pada tahun 1947 ia dijebloskan ke dalam penjara Shawshank, yang terkenal kesadisannya, untuk menjalani hukuman dua kali penjara seumur hidup. Malam pertama di penjara, salah seorang napi yang masuk bersama-sama Andy pada hari itu mati dihajar oleh kepala penjaga penjara.
Sekitar sebulan kemudian, Andy mulai mengenal Ellis “Red” Redding dan kawan-kawannya. Suatu persahabatan dimulai setelah Red menyelundupkan sebuah palu batu untuk Andy, demi hobinya mengkoleksi batu. Beberapa tahun pertama di penjara, Andy menjadi bulan-bulanan sekelompok napi homoseks yang dikenal dengan “the Sisters.” Namun, sebagai orang yang terpelajar, Andy menghasilkan banyak ‘prestasi.’ Kepiawaiannya dalam hal keuangan dan pajak menarik perhatian kepala penjaga penjara. Ia mengurus macam-macam pertanyaan seputar keuangan dari para penjaga penjara. Ia juga berhasil menggalang dana dari luar demi meningkatkan kualitas perpustakaan penjara. Karena ‘prestasi’-nya ini, ketika Andy sekali lagi diperkosa secara brutal, penjaga-penjaga penjara menjalankan hukuman berat kepada pelakunya, dan kebrutalan yang dialami Andy pun akhirnya berakhir. Pengawas penjara Samuel Norton tidak lama kemudian pun memanfaatkan keahlian Andy. Norton mengusahakan suatu program untuk mempekerjakan para napi di proyek-proyek konstruksi. Andy dipekerjakan secara korup untuk menyembunyikan dana yang dikeruk Norton bagi dirinya sendiri, dan Andy melakukan ini dengan jalan menciptakan identitas palsu.
Seorang napi muda bernama Tommy masuk Shawshank pada tahun 1965. Suatu hari ia bercerita tentang seseorang yang ternyata adalah pembunuh istri dan pria simpanan istri Andy. Mendengar kesaksian ini, Andy meminta Norton supaya kasusnya ditinjau ulang. Akan tetapi, khawatir akan hilangnya dana korupsi yang diurus Andy, Norton memerintahkan supaya Tommy dibunuh dan Andy dikucilkan dalam sel khusus. Dua bulan kemudian, Andy kembali ke penjara utama seperti seorang yang kehilangan harapan. Ia memberikan petunjuk abstrak kepada Red, dan teman-temannya begitu khawatir kalau-kalau ia akan bunuh diri. Keesokan harinya, Andy menghilang dari selnya. Ia ternyata lolos dari penjara melalui terowongan yang selama hampir 20 tahun ia gali menerobos tembok selnya dengan palu batu yang diberikan Red.
Membaca sinopsis di atas, pasti wajar untuk mengira The Shawshank Redemption adalah tipikal film jagoan—dalam hal ini Andy jagoannya. Namun, setelah menonton film ini, kita akan berpendapat lain. Memang Andy menempati posisi yang penting, namun Red memiliki posisi yang tidak kalah pentingnya. Lebih dari itu, meskipun hal ini mungkin disangkal oleh orang-orang di balik pembuatan film ini, jelas sekali bagaimana The Shawshank Redemption merupakan alegori penebusan Kristus terhadap manusia berdosa. Andy merupakan figur Kristus, sedangkan Red dan semua napi lain di Shawshank melambangkan manusia berdosa. Sebagai alegori, film ini menyediakan perspektif baru dalam melihat problema manusia berdosa dan anugerah penebusan yang dialaminya.
Penjara Shawshank mengiaskan kehidupan manusia dalam dosa. Dalam narasinya, Red berkata mengenai Shawshank, “… when they put you in that cell… and those bars slam home… that’s when you know it’s for real. A whole life blown away in the blink of an eye. Nothing left but all the time in the world to think about it.” Manusia berdosa yang tinggal dalam dunia yang sudah jatuh adalah seperti para tahanan di Shawshank yang menjalani hukuman seumur hidup. Sekali manusia jatuh ke dalam dosa, tidak ada kemungkinan pada dirinya sendiri untuk bebas. Bagi manusia berdosa tanpa anugerah keselamatan, apa yang tinggal hanyalah sepanjang kekekalan untuk menyesali kejatuhannya. Seperti dikatakan Red, “There’s not a day goes by I don’t feel regret. … I look back on the way I was then: a young, stupid kid who committed that terrible crime. I want to talk to him. I want to try and talk some sense to him, tell him the way things are. But I can’t. That kid’s long gone and this old man is all that’s left.”
Film ini juga menggambarkan dilema kehidupan manusia dalam dosa. “These walls are funny. First you hate ‘em, then you get used to ‘em. Enough time passes, you get so you depend on them. That’s institutionalized,” demikian Red berteori. Mereka yang sudah lama hidup dalam penjara akhirnya terbiasa dengan kehidupan penjara, sehingga tidak dapat hidup selain di penjara. “Institutionalized,” istilahnya. Itulah yang terjadi dengan Brooks, napi tertua di Shawshank, yang sudah berada di sana selama 50 tahun. Ketika tiba waktunya untuk keluar dari penjara, ia merasakan tekanan yang berat. Ketika ia keluar, ia dihantui oleh ketakutan. Dunia di luar tidak lagi sama dengan apa yang diketahuinya 50 tahun yang lalu. Ia menemukan bahwa dunia di luar penjara bukanlah tempat bagi dirinya. Dalam suratnya kepada teman-temannya di Shawshank ia menulis, “Sometimes it takes me a while to remember where I am. … I don’t like it here, I’m tired of being afraid all the time. I’ve decided not to stay.” Dengan kalimat itu ia mengakhiri hidupnya. Teman-temannya menyesali kepergian Brooks, dan mengatakan bahwa seharusnya ia meninggal dengan tenang di Shawshank. Red sendiri, ketika akhirnya dibebaskan dari penjara, mengalami dilema yang sama. Di penjara ia merasa hidupnya lebih berarti. “All I want is to be back where things make sense. Where I won’t have to be afraid all the time,” katanya. Akan tetapi, ia tidak mengambil keputusan yang diambil Brooks. “Only one thing stops me. A promise I made to Andy.”
Kehadiran Andy di Shawshank sedari awal sudah memperlihatkan keistimewaannya. “He had a quiet way about him, a walk and a talk that just wasn’t normal around here. He strolled, like a man in a park without a care or a worry in the world, like he had on an invisible coat that would shield him from this place,” demikian Red menggambarkan Andy. Ini mengingatkan kita akan kalimat yang diucapkan Kristus: “Aku bukan dari dunia ini” (Yoh. 8:23; 17:14,16). Seperti Kristus, Andy ‘tidak bersalah.’ Kehadirannya di Shawshank bukanlah untuk menanggung hukuman yang seharusnya ia tanggung, seperti halnya napi-napi yang lain. Dan apa yang dilakukan Andy selama dalam penjara menghadirkan pengharapan bagi setiap napi di Shawshank, khususnya Red. Dalam percakapannya dengan Red, Andy berbicara tentang pengharapan, “… there are places in this world that aren’t made out of stone. … there’s something inside… that they can’t get to, that they can’t touch.” Beberapa kali Andy meresikokan nyawanya sendiri demi menghadirkan senyuman di wajah teman-temannya. Dalam suatu kesempatan, ia berhasil meluluhkan hati kepala penjaga penjara sehingga teman-temannya dapat menikmati bir gratis. Dalam kesempatan yang lain, ia memutar lagu Marriage of Figaro karya Mozart melalui pengeras suara ke seluruh penjara. Menceritakan kejadian itu, Red berkata, “… those voices soared higher and farther than anybody in a gray place dares to dream. It was like some beautiful bird flapped into our drab little cage and made those walls dissolve away, and for the briefest of moments, every last man in Shawshank felt free.” Dalam setiap ‘mujizat’ yang dilakukan Andy bagi para napi di Shawshank, ia menghadirkan penebusan melalui pengharapan.
Peristiwa seputar lolosnya Andy dari Shawshank sangat menyerupai kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus. Selama Andy ada di Shawshank, tidak henti-hentinya ia ditindas. Pertama oleh “the Sisters,” dan pada akhirnya oleh pengawas penjara Shawshank sendiri. Pengawas penjara Shawshank, Norton, tidak lain adalah Farisi pada zaman Tuhan Yesus. Siksaan yang terberat yang harus ditanggung Andy justru datang dari Norton; ia mengurung Andy selama dua bulan dalam sel khusus tanpa alasan yang valid. Menghilangnya Andy dari selnya mirip dengan tidak ditemuinya Tuhan Yesus di kubur-Nya. Pesan yang ditinggalkan Andy kepada Red serupa janji Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya sebelum Ia ditangkap dan disalibkan.
Ketika Red akhirnya dibebaskan dari penjara, ia mengikuti petunjuk yang diberikan Andy kepadanya untuk menemukan sebuah catatan yang dikubur di bawah sebuah pohon. Dalam catatan itu Andy menulis, “Remember Red, hope is a good thing, maybe the best of things, and no good thing ever dies.” Red pun akhirnya meyakini bahwa hope is a good thing. Dengan pengharapan itu, ia mengikuti pesan terakhir Andy untuk pergi mencari Andy: “I hope I can make it across the border. I hope to see my friend, and shake his hand. I hope the Pacific is as blue as it has been in my dreams. I hope.” Pengharapan itulah yang akhirnya mengantarnya bertemu Andy di pantai Meksiko. Berdasarkan janji Tuhan kita berharap, dan pengharapan itu memberi kita kekuatan melalui kehidupan ini. Hidup dalam dunia bukanlah hidup yang gampang. Kadang-kadang kita ingin menyerah dan kembali kepada jalan hidup kita yang lama. Namun, pengharapan atas janji Tuhan menguatkan kita untuk berjalan terus, sampai akhirnya kita bertemu muka dengan muka dengan Tuhan kita.
Andy adalah figur Kristus bagi diri Red, manusia berdosa. Red menceritakan kisah Shawshank bukan saja karena Andy memberikan pengharapan kepada Shawshank, namun lebih dari itu—kepada dirinya.
Pelajaran Penerimaan: Lars and the Real Girl
Lars and the Real Girl menceritakan seorang pria super pemalu bernama Lars, yang bahkan tidak tahan menerima sentuhan orang lain. Di siang hari, Lars bekerja di kantor sebagaimana layaknya orang biasa, tapi di malam hari Lars memilih untuk tinggal sendiri di garasi rumah. Kakak laki-lakinya, Gus, dan kakak iparnya, Karin, menempati rumah keluarga. Suatu hari Lars memberitahukan kepada Gus dan Karin bahwa ia baru menemukan wanita idamannya, dan begitu tidak sabar ingin segera memperkenalkannya kepada mereka. Gus dan Karin sangat terperanjat ketika menyadari bahwa wanita idaman yang dimaksud Lars adalah sebuah boneka wanita berukuran manusia yang dipesannya melalui internet. Yang membuat mereka lebih terperanjat lagi, Lars memperlakukan boneka ini, yang diperkenalkannya dengan nama Bianca, sebagai wanita sungguhan, yang dikasihinya dengan tulus. Lars membawa Bianca ke mana-mana, bahkan ke gereja. Kehadiran Bianca memberikan Lars seorang pendamping ideal. Bukan saja Bianca tidak dapat menyentuh Lars, ia juga tidak akan pernah bisa mengkritik dan mempertanyakan Lars.
Tidak tahu harus berbuat apa, Gus dan Karin berkonsultasi dengan seorang dokter, Dagmar, yang menyarankan supaya mereka membiarkan Lars hidup dalam delusinya. Ini berarti memperlakukan Bianca sebagai wanita sungguhan, sama seperti Lars memperlakukannya sebagai wanita sungguhan. Seluruh kota pun tidak lama kemudian ikut serta dalam ‘sandiwara’ ini. Film ini mengemas dengan begitu indah perjuangan orang-orang di sekitar Lars dalam menerimanya—perjuangan yang kadang-kadang konyol, namun juga mengharukan.
Bagi Gus dan Karin, tidak mudah untuk menerima keanehan Lars. Bahkan lebih sulit untuk hidup dengan imajinasi Lars dan berpura-pura bahwa Bianca bukan sekedar sebuah boneka. Akan tetapi mereka tidak pernah berhenti berusaha. “Pretend that she’s real? I’m just not gonna do it. … Everyone’s gonna laugh at him,” protes Gus ketika Dagmar menyarankan supaya mereka memperlakukan Bianca seolah-olah ia benar-benar hidup. Suatu kali, ketika Gus dan Karin memandikan Bianca, mereka tidak dapat mempercayai apa yang sedang mereka lakukan: “What are we doing? Why are we doing this for him?” “Oh, come on. It’s funny!” “Is it?” “I don’t know. I don’t know, maybe not.” Sementara Karin sedari awal sudah lebih siap ‘dipermalukan’ demi Lars, perlu waktu yang lama bagi Gus untuk dapat benar-benar bersabar terhadap Lars. Namun, lambat laun, ia pun berubah. Meskipun tidak mudah baginya untuk mengekspresikan kasih sayang dalam kata-kata, Gus sungguh peduli akan adiknya. Menjawab pertanyaan Lars tentang apa yang membuat seseorang itu laki-laki, Gus menjawab, “Well, it’s not like you’re one thing or the other, okay? There’s still a kid inside but you grow up when you decide to do right, okay, and not what’s right for you, what’s right for everybody, even when it hurts.”
Penebusan dalam Lars and the Real Girl hadir melalui penerimaan. Sementara dalam The Shawshank Redemption Andy menjadi satu-satunya figur Kristus, dalam Lars and the Real Girl figur Kristus hadir melalui sebuah komunitas, yang diwakili oleh beberapa orang yang instrumental dalam perubahan Lars, seperti Gus dan Karin, yang mengalami pergumulan emosional yang berat dan panjang, namun dari situ mereka juga mengalami pembentukan; Dagmar, yang selalu nampak bijaksana dalam setiap kalimat yang keluar dari mulutnya; Mrs. Gruner, yang selalu percaya akan kebaikan Lars dan menganggapnya seperti anaknya sendiri; serta Margo, yang tidak pernah menganggap keanehan Lars sebagai suatu jarak yang perlu memisahkannya dari Lars.
Batasan antara menerima dan membiarkan kadang sangat tipis. Yang jelas, menerima tidak sama dengan membiarkan. Membiarkan berarti tidak peduli apakah orang itu mau berubah atau tidak. Menerima berarti sadar kita tidak dapat mengubah orang lain, tapi kita percaya dia dapat berubah dengan kerelaan dan kemauannya sendiri. “[Kasih] menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor. 13:7). Kadang penerimaan perlu melibatkan teguran dan kemarahan, tapi tidak pernah kehilangan unsur-unsur di atas. Karin, yang sangat peduli terhadap Lars, adalah justru orang sangat pantas memarahi Lars, dan kemarahannya tulus, karena ia memarahi dalam kasih: “Every person in this town bends over backward to make Bianca feel at home. Why do you think she has so many places to go and so much to do? Huh? Huh? Because of you! Because… all these people… love you! We push her wheelchair. We drive her to work. We drive her home. We wash her. We dress her. We get her up, and put her to bed. We carry her. And she is not petite, Lars. Bianca is a big, big girl! None of this is easy—for any of us—but we do it… Oh! We do it for you! So don’t you dare tell me how we don’t care.” Saya pribadi sering gagal dalam hal ini. Sering kemarahan saya timbul karena saya, dan bukan karena dia. Kemarahan saya timbul karena saya tidak mau dirugikan, dan bukan karena saya ingin orang lain lebih baik. Hasilnya, jarang ada kemarahan yang tulus tanpa mengkritik atau menyerang orang lain. Film ini membuktikan kekuatan sebuah komunitas untuk mengubah melalui penerimaan. Ini tentu saja merupakan bahan perenungan bagi gereja sebagai agen penebusan dalam masyarakat.
Ketika kita melihat Lars, kita pun sebenarnya dapat belajar sesuatu darinya. Kasih sayang Lars terhadap Bianca mengajarkan kita tentang kasih tanpa syarat. Bianca adalah sebuah boneka—yang mati—tapi Lars terus memberikan perhatian kepadanya walaupun ia tidak mampu berespon. Kita sering merasa sudah seharusnya orang yang kita kasihi mengasihi kita kembali—karena kasih dan persahabatan sudah seharusnya bersifat timbal balik. Akan tetapi, bagaimana jika orang yang kita kasihi tidak mampu mengasihi kita kembali—karena sakit yang parah, misalnya? Dapatkah kita tetap mengasihinya?
Dari Lars, kita juga menyadari bahwa setiap manusia punya penjaranya masing-masing. Di Shawshank, para napi sadar bahwa mereka ada dalam penjara dan ingin bebas. Bagi Lars, sebaliknya, kerumitan kepribadiannyalah yang menjadi penjara, tetapi ia tidak sadar bahwa dirinya sedang berada dalam penjara. Dalam pikirannya, Karinlah yang bermasalah: “I’m worried about her. I think she has a little problem. … I think it’s because she’s insecure, … she’s just always trying to hug everybody. You know, some people don’t like that. … But she doesn’t realize that.” Padahal, sebenarnya Lars-lah yang tidak dapat menerima sentuhan fisik dari siapapun. “It does not feel good. It, it hurts. … Like a burn.” Karena itulah ia merasa aman dengan Bianca. Sebagian dari kita mungkin menyadari kelemahan—maupun keanehan—kita, tapi sebagian kita tidak, dan siapa tahu kita termasuk kelompok yang terakhir. Menyadari hal ini—bahwa kita pun belum tentu lebih ‘normal’ daripada orang lain—kita seharusnya lebih siap menerima orang lain dalam segala keberbedaannya dengan kita.
Berbeda dengan The Shawshank Redemption, yang plotnya cukup kompleks, Lars and the Real Girl begitu sederhana. Namun, unsur penebusan dihadirkan dengan tidak kalah kuatnya. Keajaiban film ini terletak pada bagaimana orang-orang dalam komunitas Lars tiba pada kesepakatan bersama untuk memperlakukan Bianca sama seperti Lars memperlakukannya. Meski memakan waktu yang cukup panjang, melalui penerimaan mereka terhadap Lars, Lars pun perlahan-lahan keluar dari kepompongnya dan akhirnya bebas.
Ketika kita mengingat kasih Tuhan yang rela turun menjadi serupa dengan manusia, kiranya kita juga menyadari bahwa tidak ada penebusan tanpa inkarnasi. Kedua film ini merupakan contoh yang baik untuk mengilustrasikan kebenaran ini. Baik Andy maupun orang-orang di sekitar Lars berinkarnasi, dan melalui inkarnasi, penebusan terjadi. Bagaimana dengan kita? Dalam kesempatan Natal tahun ini, mari kita merenungkan sekali lagi, sudahkah kita menghadirkan penebusan di mana pun kita berada?
Adi Kurniawan
Pemuda GRII Singapura
Sumber:
http://imdb.com/title/tt0111161/synopsis
http://imdb.com/title/tt0111161/quotes
http://imdb.com/title/tt0805564/synopsis
http://imdb.com/title/tt0805564/quotes
http://rogerebert.suntimes.com/apps/pbcs.dll/article?AID=/20071018/REVIEWS/710180304