Salah satu hal yang tidak mungkin hilang dari sejarah manusia adalah pemikiran mengenai keberadaan yang Ilahi atau Allah. Di sepanjang sejarah manusia, baik di dalam agama, filsafat, maupun kebudayaan, konsep mengenai siapa Allah tidak pernah bosan untuk dibahas. Bahkan, kelompok yang menamakan diri atheis, atau tidak percaya keberadaan Allah, begitu sibuk untuk mengampanyekan penolakan mereka akan keberadaan Allah. Sebetulnya penolakan ini pun merupakan buah pemikiran mereka tentang Allah. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa seluruh umat manusia di sepanjang sejarah tidak pernah bisa lepas dari konsep mengenai keberadaan Allah. Hal inilah yang dikatakan oleh John Calvin sebagai “sense of divinity“, yang merupakan salah satu aspek dasar dari manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Sehingga kapan dan di mana pun manusia berada, konsep atau pemikiran mengenai keberadaan Ilahi akan selalu ditemukan, karena ini adalah bagian dari natur seorang manusia. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kapasitas dan potensi untuk berespons terhadap keberadaan Allah.
Namun, pertanyaan berikutnya yang sering kali ditanyakan adalah, “Apakah manusia memiliki kapasitas atau kemampuan yang memadai untuk mengenal Allah secara tepat?” Atau, lebih tepatnya, “Mampukah manusia, dengan kemampuan dirinya sendiri, mengenal Allah sebagaimana seharusnya Ia dikenal?” Jawaban dari pertanyaan ini memisahkan theologi (pengenalan akan Allah) menjadi dua kelompok besar. Kelompok yang satu optimistis bahwa dengan pemikirannya manusia mampu untuk mengenal Allah. Konsep ini dikenal sebagai theology from below. Kelompok yang lain adalah kelompok yang percaya bahwa tanpa adanya pernyataan diri Allah kepada manusia, kita tidak mungkin mengenal Allah. Hal ini dikenal sebagai theology from above. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa agama, budaya, dan filsafat lahir sebagai respons manusia terhadap keberadaan Ilahi; hanya yang satu sebagai hasil dari pemikiran mereka sendiri, sedangkan yang lain menyatakan bahwa mereka mendapat wahyu. Namun satu hal yang perlu kita mengerti adalah bahwa entah berdasarkan spekulasi manusia ataupun berdasarkan wahyu Allah, pada dasarnya seluruh agama merupakan respons manusia terhadap Allah, atau lebih tepatnya terhadap pernyataan diri Allah.
Di antara dua kelompok ini, kekristenan berada di dalam kelompok yang kedua, theology from above, karena kita percaya bahwa segala kebenaran berasal dari pewahyuan diri Allah. Hal inilah yang menjadikan doktrin wahyu sangat penting bagi theologi Kristen. Bahkan banyak theolog yang menjadikan doktrin ini sebagai fondasi atau introduction ketika kita mempelajari theologi Kristen. Dengan menjadikan doktrin wahyu sebagai fondasi, maka theologi Kristen memiliki prinsip yang jelas dalam menentukan yang mana pengajaran yang benar dan yang salah, yaitu dari kesesuaian pengajaran tersebut dengan wahyu Allah, yaitu Alkitab. Tentu saja hal ini bukan berarti kekristenan tidak memiliki ruang bagi pengertian dari bidang-bidang lain seperti filsafat, sains, sosial, dan sebagainya. Kekristenan tetap mengapresiasi bahkan mempelajari berbagai bidang karena kita percaya bahwa segala kebenaran adalah kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Namun, theologi Kristen yang sejati menempatkan Alkitab sebagai dasar di dalam menentukan atau menjustifikasi kebenaran. John Calvin mengatakan bahwa Alkitab bagaikan kacamata yang memperjelas penglihatan kita, sehingga kita mengetahui mana yang benar dan salah sesuai kehendak Allah. Oleh karena itu, Alkitab sebagai wahyu khusus Allah merupakan sumber utama, atau bahkan satu-satunya, bagi pengenalan akan Allah secara langsung.
Namun hal ini tidak berarti kekristenan hanya terpaku terhadap Alkitab saja, karena kekristenan pun tetap mengapresiasi wahyu umum Allah yang ada di dalam seluruh ciptaan ini. Bahkan Alkitab sendiri mengajarkan kita untuk melihat bahwa seluruh dunia ini adalah cerminan kemuliaan Allah, yang melaluinya kita bisa mengenal siapa Allah, walaupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, penggalian alam melalui ilmu pengetahuan yang kita pelajari di dalam keseharian kita merupakan bagian dari pengenalan kita akan Allah melalui kebenaran yang ada di dalam wahyu umum, sehingga pembelajaran yang benar terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuan seharusnya membawa kita makin mengenal siapa Allah kita.
Melalui kedua jenis wahyu tersebut, wahyu umum dan wahyu khusus, kekristenan membangun wawasan dunianya. Wawasan dunia Kristen adalah wawasan yang tidak hanya terpaku ke dalam hal moralitas atau hal-hal rohani saja, tetapi juga menjadi wawasan yang mendorong kita untuk mengerti setiap aspek kehidupan. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini adalah wahyu Allah. Cara pandang seperti inilah yang menjadikan kekristenan bukan sekadar agama, tetapi merupakan sebuah wawasan dunia yang mengajak kita memandang segala sesuatu di dalam dunia ini dari kacamata kebenaran yang Allah wahyukan kepada kita. Sehingga baik kebenaran yang ada di dalam Alkitab maupun yang kita pelajari melalui alam, semua kebenaran itu adalah kebenaran yang berasal dari Allah, bukan kebenaran yang manusia bangun sendiri berdasarkan pemikiran mereka.
Di atas dasar pemikiran seperti inilah maka kita dapat mengatakan bahwa di sepanjang sejarah manusia, pemikiran tentang Allah akan selalu ada. Ketika manusia memikirkan tentang alam dan diri manusia baik melalui ilmu pengetahuan maupun melalui aspek-aspek kehidupan yang lain, seperti agama, budaya, dan sosial, pada dasarnya manusia sedang memikirkan tentang Allah. Lebih tepatnya, seluruh aspek kehidupan manusia adalah buah dari pemikiran manusia tentang Allah dan karya-Nya. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa sejarah adalah kisah mengenai pernyataan diri Allah dan pekerjaan-Nya serta respons manusia terhadapnya.
The Question of Authority
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh generasi muda saat ini adalah tantangan yang sering kali kita dengar dengan label “postmodern“. Pemikiran dari kelompok ini dengan begitu mudahnya merasuki pemikiran banyak generasi muda saat ini. Salah satu pernyataan yang mendasari, atau bahkan sudah menjadi budaya bagi generasi muda saat ini, adalah, “Doubt everything taught by anyone, submit your idea to no authority” (ragukan atau pertanyakan seluruh pengajaran yang diajarkan oleh siapa pun, jangan tundukkan ide dan pemikiranmu kepada otoritas mana pun). Tujuan dari pernyataan ini adalah mendorong para pemuda untuk menyatakan eksistensi dirinya sebagai pribadi yang dianggap masih segar dan memiliki pemikiran cemerlang, seolah-olah ketika mereka menundukkan diri kepada suatu otoritas atau pengajaran, maka diri mereka akan kehilangan keunikan bahkan identitas diri.
Salah satu ciri yang begitu terlihat dari semangat ini adalah tingginya toleransi dan inklusivitas (sikap positif dan empati terhadap orang lain), tetapi rendahnya ketegasan dalam menyatakan prinsip dan kebenaran. Perjuangan atas nama kemanusiaan begitu diteriakkan dengan lantang walaupun harus mengorbankan moralitas dan kebenaran. Selain kelompok LGBT yang memperjuangkan haknya, kita juga dapat melihat semangat toleransi tersebut di dalam film-film superhero yang kita saksikan di dalam beberapa tahun ini. Kisah yang cukup banyak diangkat adalah tentang memperlihatkan sisi kemanusiaan dari para penjahat. Mereka digambarkan sebagai korban dari sains, tekanan sosial, atau kesulitan ekonomi yang seolah-olah memaksa mereka untuk berbuat jahat. Bahkan ada film yang membuat para penjahat ini seolah-olah sedang berbuat baik, tetapi di dalam cara yang terlihat jahat, tetapi di dalam hatinya yang terdalam ia memiliki intensi yang baik. Kita dibawa ke dalam suatu moralitas yang abu-abu dan sulit untuk kita benar-benar mengatakan bahwa suatu tindakan itu baik atau jahat. Sering kali solusi yang ditawarkan di dalam film-film seperti ini adalah antara kita menerima kejahatan yang sebelumnya mengandung kebaikan di dalamnya, atau kita diajak untuk menoleransi kejahatan tersebut dan memberikan mereka kesempatan kedua demi kehidupan bermasyarakat yang lebih baik.
Kisah-kisah seperti ini memang sangat menarik simpati generasi muda saat ini, yang konon memiliki rasa kemanusiaan dan simpati yang begitu besar. Kita diajak untuk menjadi orang yang ramah dan menyambut siapa pun yang ada di sekitar kita, tanpa peduli latar belakang mereka. Dengan catatan, kita tidak boleh menjadi seorang yang “judging” kepada yang lain. Cara seperti ini dinilai dapat mendatangkan kedamaian bagi masyarakat dan lebih manusiawi, karena kita diajak untuk lebih mengerti kesulitan orang lain.
Fenomena lain yang terjadi adalah popularitas media sosial dan dunia digital yang meningkat sangat tajam. Teknologi saat ini sudah mencapai tahap di mana kita bisa membangun kehidupan virtual reality kita. Kehidupan di dalam dunia virtual ini pasti akan menyenangkan karena kita membangun kehidupan yang kita inginkan. Bahkan, dengan terbukanya berbagai macam pilihan, dari produk-produk yang kita gunakan, musik, program televisi, hingga berbagai macam hiburan, kita diarahkan untuk membangun kehidupan sesuai dengan mood yang dianggap sesuai dengan diri kita. Dengan kata lain, kita didukung untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya, dan sebisa mungkin terlepas dari keharusan untuk tunduk kepada otoritas tertentu.
Bukankah semangat ini sama dengan semangat dari Adam dan Hawa ketika mereka memilih untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat? Mereka yang tahu bahwa mereka harus hidup tunduk di bawah otoritas Allah akhirnya memilih untuk mendengarkan perkataan si Iblis untuk memberontak kepada Allah. Mereka yang tahu apa itu baik (taat kepada Allah) dan apa itu jahat (melawan Allah) akhirnya memilih untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat bukan karena mereka ingin tahu yang baik dan jahat, tetapi karena mereka ingin menentukan sendiri apa yang baik dan jahat bagi mereka. Bukankah semangat ini sama dengan kita di zaman ini? Kita ingin membangun realitas hidup masing-masing dan terbebas dari segala otoritas. Inilah kisah yang mendominasi sejarah manusia, kisah bagaimana manusia berusaha begitu rupa untuk menyangkal keberadaan Allah dan menjadikan diri sebagai allah atas seluruh kehidupannya.
Christianity and Authority
Bagaimana dengan kekristenan saat ini? Semangat antiotoritas bukan hanya berada di luar gereja, tetapi juga sudah masuk ke dalam gereja, bahkan ke dalam dunia theologi. Salah satu yang menjadi isu di dalam beberapa dasawarsa ini adalah isu mengenai open theism. Ini adalah suatu cara pandang mengenai Allah. John Frame, dalam bukunya No Other God, meringkas cara pandang open theism sebagai berikut:
- Love is God’s most important quality.
- Love is not only care and commitment, but also being sensitive and responsive.
- Creatures exert an influence on God.
- God’s will is not the ultimate explanation of everything. History is the combined result of what God and His creatures decide to do.
- God does not know everything timelessly, but learns from events as they take place.
- So God is dependent on the world in some ways.
- Human beings are free in libertarian sense.
Dari tujuh poin ringkasan ini, kita dapat melihat bahwa semangat dari ajaran ini adalah menurunkan supremasi Allah atas dunia ciptaan, dengan menjadikan Allah sebagai keberadaan yang juga masih berada di dalam proses. Otoritas Allah atas dunia ciptaan pun dipudarkan, sehingga manusia bisa melakukan sesuatu yang dapat mengubah Allah. Inilah salah satu bentuk dari semangat antiotoritas yang berkembang di dalam dunia theologi. Cara berpikir ini masuk ke dalam banyak gereja dan menimbulkan banyak pengajaran yang tidak lagi setia kepada Alkitab. Mereka sedang menurunkan Alkitab yang merupakan wahyu Allah yang berotoritas dan menggantikannya dengan otoritas diri manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, kita perlu kembali menegakkan konsep doktrin wahyu yang benar. Karena di dalam pemikiran Kristen, otoritas Allah atas seluruh alam semesta ini adalah hal yang paling fundamental. Satu-satunya sumber kebenaran mengenai siapa Allah dan apa yang menjadi kehendak-Nya hanya dapat kita mengerti melalui wahyu-Nya yang berotoritas. Banyak orang Kristen tidak menyadari betapa fundamentalnya pembelajaran mengenai doktrin wahyu ini. Kita sering kali “take it for granted” segala kebenaran yang bisa kita mengerti di dalam kehidupan ini, bahkan kita melupakan Allah yang merupakan sumber dari kebenaran tersebut, padahal pembelajaran mengenai doktrin wahyu yang benar akan membawa kita makin mengenal siapa Allah yang sejati. Bukan hanya itu, kita pun akan makin mengenal peranan kita sebagai manusia. Bukan hanya itu, kita pun akan makin mengerti karakteristik dari kebenaran yang Allah wahyukan. Oleh karena itu, tanpa kita benar-benar mengerti doktrin wahyu, wawasan dunia Kristen yang kita miliki menjadi wawasan yang tidak utuh, khususnya di dalam menghadapi tantangan dunia.
Inilah yang menjadi latar belakang dari tema besar Buletin PILLAR tahun ini, yaitu doktrin wahyu. Di sepanjang tahun 2022 ini, kita akan melihat doktrin wahyu dari berbagai sisi, mulai dari topik-topik yang membahas berbagai aspek penting dari doktrin wahyu, hingga pemikiran theolog-theolog Reformed yang penting mengenai doktrin wahyu, seperti A. W. Pink, B. B. Warfield, Herman Bavinck, Cornelius Van Til, dan theolog lainnya. Di dalam rangkaian artikel “The Doctrine of Revelation” ini, kita akan membahas fondasi dari doktrin wahyu, khususnya di dalam kaitannya dengan doktrin Allah, manusia, dan Kristus, serta kita juga akan membahas implikasi dari doktrin wahyu ini di dalam beberapa aspek kehidupan manusia.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES