Pada artikel yang lalu, kita sudah membahas secara singkat mengenai wahyu Allah tentang alam dari alam. Kita melihat bagaimana alam ini dapat kita mengerti, karena alam ini merupakan bagian dari wahyu Allah, sehingga di dalamnya terdapat sifat unity in diversity. Maka seharusnya wahyu Allah adalah dasar atau fondasi dari perkembangan science, bukannya dipisahkan dari science, karena asumsi yang paling dasar di dalam membangun sebuah teori science adalah adanya keterkaitan atau kesinambungan antara objek-objek di dalam alam ini. Kaitan demi kaitan ini akhirnya membangun sebuah prinsip yang sering kali disebut sebagai hukum alam. Tanpa adanya sifat unity di dalam setiap objek di alam ini, maka kita tidak mungkin dapat membangun sebuah teori science. Begitu juga dengan keberagaman, tanpa adanya sifat diversity di dalam alam ini, maka kita tidak mungkin mendapatkan ilmu pengetahuan yang terus-menerus berkembang. Justru karena sifat unity in diversity inilah science menjadi sebuah ilmu yang kaya dan terus berkembang, karena di dalam alam terdapat hikmat Allah yang begitu berlimpah. Di dalam artikel kali ini, kita akan membahas mengenai aspek kedua dari 9 fields of revelation menurut Cornelius Van Til, yaitu wahyu Allah tentang alam dari manusia.
Salah satu pengertian yang dikemukakan oleh Bavinck dan juga disetujui oleh Van Til adalah bahwa segala sesuatu di dalam alam semesta ini adalah pewahyuan Allah (all things are revelational). Mereka melihat bahwa setiap hal di dalam alam semesta ini menyatakan siapa Allah. Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa setiap hal di dalam alam semesta ini berkait dengan Allah, bahkan setiap hal ini saling berkaitan satu dengan lainnya. Aspek relasi ini sangat penting di dalam dunia filsafat pengetahuan, termasuk di dalam dunia praktika. Tanpa adanya relasi ini, tidak mungkin kita dapat mengerti bahkan mendapatkan manfaat dari setiap keberadaan yang ada di dalam alam semesta ini. Seperti yang sudah dibahas pada paragraf sebelum ini, keterkaitan antara setiap objek di dalam alam membuat kita dapat membangun dan mengembangkan science. Namun pengertian ini belum lengkap tanpa keterkaitan alam dengan manusia yang mencoba untuk mengerti alam tersebut. Tanpa adanya kesinambungan antara alam dengan manusia, maka tidak mungkin manusia dapat mengerti segala sesuatu di dalam alam ini.
Van Til menyatakannya sebagai berikut:
“What holds about our knowledge of physics holds also, mutatis mutandis (with the necessary changes having been made) of the knowledge that we obtain about nature by comparing it with ourselves. In fact, the only way that we can have knowledge about nature is by a sort of anthropomorphism (using human traits to describe nonhuman things). When we study animal behavior, we speak of their activity in terms of intellect and will, etc. Similarly, in our study of inanimate objects, we use metaphorical language borrowed from our own experience.” [1]
Dalam kutipan ini, Van Til menggunakan sebuah istilah yaitu “anthropomorphism”, yang berarti kemampuan manusia di dalam menjelasakan atau mengerti sesuatu dengan membandingkan antara hal tersebut dengan diri manusia. Di sini kita dapat melihat sebuah isu epistemologi di dalam kita mengerti alam. Salah satu pertanyaan dari isu ini adalah bagaimana kita dapat mengerti suatu objek di luar diri kita, terutama objek yang bukan manusia, misalnya alam ini atau bahkan ketika kita mengerti mengenai Allah. Bahkan di dalam kita berkomunikasi antara sesama manusia pun, ada isu epistemologi yang perlu kita pikirkan.
Tanpa adanya sifat unity di dalam setiap objek di alam ini, maka kita tidak mungkin dapat membangun sebuah teori science. Begitu juga dengan keberagaman, tanpa adanya sifat diversity di dalam alam ini, maka kita tidak mungkin mendapatkan ilmu pengetahuan yang terus-menerus berkembang. Justru karena sifat unity in diversity inilah science menjadi sebuah ilmu yang kaya dan terus berkembang, karena di dalam alam terdapat hikmat Allah yang begitu berlimpah.
Misalnya, ketika teman kita mengatakan “tulip”, pengertian atau pikiran apakah yang akan terbentuk di kepala kita? Istilah tulip itu sendiri memiliki asosiasi dengan berbagai objek di dalam dunia ini. Mulai dari bunga tulip, atau coklat merk Tulip, atau bahkan bisa juga dikaitkan dengan 5 pokok Calvinisme. Maka jikalau tidak ada kesamaan pengertian antara si pemberi dengan si penerima informasi, tidak mungkin terjadi suatu komunikasi atau transfer of knowledge antara kedua pribadi tersebut. Maka untuk membangun pengertian yang sama, setidaknya kedua pribadi ini perlu memiliki pemikiran akan suatu objek yang sama ketika membicarakan tentang “tulip”. Ketika yang dimaksud orang si pemberi informasi adalah bunga tulip, maka si penerima informasi memerlukan dasar atau setidaknya memory mengenai bunga tulip tersebut.
Dari proses komunikasi ini saja kita sudah mengasumsikan beberapa hal:
- Informasi yang diberikan oleh si pemberi memiliki makna yang stabil, sehingga si penerima mengerti dan mengarah kepada pengertian yang sama. Bayangkan jikalau istilah “tulip” itu memiliki makna yang berubah-ubah setiap waktu, maka tidak mungkin terjadi transfer of knowledge.
- Kestabilan makna ini pun tidak hanya ditopang di sisi maknanya, tetapi istilah atau bahasa yang digunakan pun harus memiliki prinsip atau sistem yang memadai untuk menjadi simbol dari objek yang dimaksudkan. Maka ketika kita berkomunikasi, pengertian yang diberikan melalui suatu kalimat yang mengikuti suatu struktur atau aturan tertentu dapat dimengerti dengan baik oleh si penerima.
- Objek yang dimaksud dalam pembicaraan pun adalah objek yang dimengerti di dalam prinsip unity in diversity. Misalnya saja ketika berbicara mengenai bunga tulip, objek itu dimengerti oleh si pemberi informasi bukan hanya di dalam kaitannya dengan kelompok bunga secara general (karena itu adalah bunga, bukan pohon atau tumbuhan lainnya), tetapi bunga yang dimaksud itu juga adalah bunga tulip dengan suatu spesifikasi yang khusus dan unik dibandingkan dengan bunga-bunga lainnya. Pengertian ini juga ada di dalam pikiran dari di penerima informasi tersebut.
Setidaknya dari ketiga asumsi ini saja, kita dapat melihat betapa kompleksnya proses dalam menggali atau mengerti sesuatu. Maka yang jadi pertanyaan adalah siapa yang dapat menopang konsistensi dan kesinambungan di dalam transfer of knowledge tersebut? Bagi Van Til, seluruh proses ini jikalau bukan karena adanya wahyu Allah, tidak mungkin terjadi. Jikalau tidak ada kesinambungan makna dari alam dengan pikiran manusia, atau dari pikiran seorang manusia dengan manusia lainnya, maka ilmu pengetahuan tidak mungkin berada apalagi bermakna.
Maka proses manusia mengerti alam adalah proses yang juga ditopang oleh wahyu Allah. Di dalam anthropomorphism, setidaknya ada beberapa tahap yang perlu kita ketahui:
- Kesan, makna, atau pengertian yang manusia peroleh ketika mempelajari alam.
- Pemilihan aspek di dalam diri manusia yang dianggap menggambarkan atau menganalogikan pengertian atau kesan yang ditangkap dari penyelidikan akan alam.
- Pendeskripsian dari perbandingan antara alam dengan manusia ini, yang diungkapkan menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia lain secara universal, sehingga akhirnya terjadi transfer of knowledge yang bermakna.
Setidaknya dari ketiga tahap ini saja kita sudah dapat melihat perlunya suatu prinsip atau keutuhan di dalam kebenaran yang akhirnya memungkinkan manusia untuk mengerti akan alam ini. Jikalau alam bukan bersumber dari Allah, bagaimana mungkin manusia memiliki kemampuan untuk mengerti alam ini? Jikalau manusia bukan diciptakan oleh Allah, bagaimana mungkin manusia dapat mengerti akan alam yang merupakan karya Allah? Maka jikalau kita tidak mengasumsikan bahwa seluruh keberadaan di dunia ini adalah pewahyuan diri Allah, hidup manusia tidak akan bermakna.
Van Til menyatakan lebih lanjut terkait hal ini:
“In particular, we would note that Christ made use of parabolic language. When Christ spoke of the vine and the branches, He did not hesitate to use the figure as symbolic of the relation of Himself to the church. It is of great interest and great importance to ask ourselves on what ground Christ was able to do this. Christ was not just a clever human being who saw interesting parallels to human experiences in nature. Christ was the Logos of creation as well as the Logos of redemption. Things of nature were adapted by Him to the things of the Spirit. The lower was made for the higher. The lower did not just exist independently of the higher. And because all things are made by God, that is, through the eternal Logos of creation, we too can use symbolism and analogy and know that, though we must always look for the tertium comparationis (the third element, the point of comparison, which explains the relation of the symbol to reality) in all symbolism, nevertheless it is at bottom true. Without a revelational foundation, all symbolism and all art in general would fall to the ground. Even though a person does not recognize this fact, as is the case with artists that are not Christians, it remains true. Though they will not see Christ as the Logos of creation, He nevertheless upholds them in His providence.[2]”
Dari kutipan ini, kita bisa melihat bagaimana Van Til mengaitkan kemampuan manusia di dalam menarik paralel antara alam dengan aspek kehidupan manusia sebagai bagian dari manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Sebagaimana Kristus, yang adalah Gambar Allah yang sejati, menggunakan aspek di dalam alam ini secara paralel dengan aspek kehidupan manusia di dalam pengajaran-Nya, maka kita sebagai gambar dan rupa Allah pun dapat melakukan hal ini. Alam yang diciptakan oleh Allah dapat dimengerti oleh manusia karena manusia itu sendiri diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah, sehingga baik alam maupun manusia, keduanya adalah bagian dari pewahyuan Allah. Hal inilah yang memungkinkan manusia dapat mengerti alam ini, karena terdapat kesinambungan wahyu Allah di antara manusia dan alam. Semua ini bisa terjadi karena semuanya memiliki wahyu sebagai fondasinya. Bahkan orang-orang yang tidak percaya pun take it for granted terhadap hal tersebut.
Salah satu pengertian yang dikemukakan oleh Bavinck dan juga disetujui oleh Van Til adalah bahwa segala sesuatu di dalam alam semesta ini adalah pewahyuan Allah (all things are revelational). Mereka melihat bahwa setiap hal di dalam alam semesta ini menyatakan siapa Allah. Implikasi dari pengertian ini adalah bahwa setiap hal di dalam alam semesta ini berkait dengan Allah, bahkan setiap hal ini saling berkaitan satu dengan lainnya.
Maka di sini kembali Van Til mengajak kita untuk melihat bahwa dunia ini pada prinsipnya adalah pewahyuan Allah. Semua aspek di dalam alam semesta ini saling berkait membangun suatu sistem yang utuh. Tanpa kita mengerti kaitan ini, kita gagal untuk mengerti alam semesta di dalam keluasan dan keutuhannya. Kita akan menjadi seorang yang serupa dengan dunia ini, dengan orang-orang yang tidak percaya kepada Allah. Mereka melihat alam semesta ini secara parsial, bahkan mereka memisahkan alam dan manusia dengan aspek pewahyuan Allah, padahal hal ini hanya menjadikan seluruh pengertian dan kehidupan manusia menjadi tidak bermakna. Maka sebagai orang Kristen, kita perlu kembali melihat dan menghargai wahyu Allah. Kita tidak dapat memandang wahyu Allah hanya di dalam aspek moral atau rohani saja. Kita harus memandang wahyu Allah sebagai fondasi dari seluruh aspek kehidupan kita, bahkan di dalam ilmu pengetahuan dan perkembangannya.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES
[1] Cornelius Van Til, Introduction to Systematic Theology, (Phillipsburg: New Jersey)
[2] Cornelius Van Til, Introduction to Systematic Theology, (Phillipsburg: New Jersey)