Apa hal pertama yang muncul di benak saat kita mendengar kata-kata “gangguan jiwa”? Apa yang Anda pikirkan tentang seseorang dengan gangguan jiwa? Seringkali mereka dikatakan lemah, kurang iman, dihukum, disantet, berbahaya, dan harus dijauhi. Benarkah demikian? Apa sebenarnya gangguan jiwa?
Gangguan jiwa adalah sindrom perilaku yang secara klinis bermakna, yang terjadi pada individu di satu atau lebih area fungsi yang penting, yaitu pikiran, emosi, perilaku, dan kognisi seseorang. Kumpulan gejala ini dapat menyebabkan gangguan fungsi dalam pendidikan, pekerjaan, dan/atau kehidupan berelasi bagi penderitanya. Gangguan jiwa sangatlah luas, dari yang ringan sampai berat, seperti skizofrenia, depresi, gangguan cemas, adiksi, gangguan tidur dan makan, demensia dengan gangguan perilaku, gangguan kepribadian, dan lainnya.
Gangguan jiwa sama seperti penyakit lainnya, hanya saja organ yang terkena adalah otak yang mengatur kejiwaan (pikiran, perasaan, dan perilaku) seseorang. Kemungkinan penyebabnya kompleks dan melibatkan banyak faktor. Pertama, faktor biologis, yaitu kontribusi genetik, ketidakseimbangan zat kimia di otak, penyakit lain yang mendasari, dan penggunaan narkotika. Kedua, faktor psikologis, seperti peranan pola asuh orang tua, riwayat trauma psikologis dan fisik, kepribadian yang kurang dewasa, serta pola menyelesaikan masalah yang kurang baik. Ketiga, faktor sosial, seperti adanya stresor kehidupan tertentu, status pekerjaan, pendidikan, dan ekonomi yang lebih rendah, serta kurangnya dukungan sosial.
Semua faktor baik secara internal maupun eksternal yang begitu kompleks dari masa kecil hingga dewasa dapat membentuk seseorang menjadi berkepribadian tertentu dan mengalami suatu gangguan jiwa tertentu. Namun kita mudah memberikan stigma terhadap penderita gangguan jiwa, padahal mereka sendiri tidak menginginkan menderita penyakit tersebut. Stigma merupakan suatu celaan atau tanda aib seseorang yang memiliki konotasi negatif, dan mengandung diskriminasi yang dapat menghancurkan martabat seseorang.
Hal ini sering terjadi sehari-hari, bahkan seringkali dari ucapan dan perilaku orang Kristen sendiri. Orang Kristen menjauhi orang dengan gangguan jiwa seolah ia mengidap penyakit mematikan yang menular, padahal seharusnya ia dibantu, didukung, ditemani ke psikiater, dan didoakan. Sama seperti orang Kristen memusuhi orang yang terlihat “lebih berdosa”, seolah kita sendiri lebih baik dan tanpa dosa. Tanpa disadari, kita seringkali menjadi seperti orang Farisi yang menghakimi. Memang lebih mudah untuk menghakimi sesama daripada berempati dan mengasihi, karena kita cenderung melihat sesuatu dari sudut pandang kita sendiri.
Kita memandang orang yang berzinah, korupsi, dan membunuh begitu menjijikkan, padahal kita juga pernah berbohong, mengingini milik orang lain, mengucap sumpah serapah, mementingkan diri sendiri, dan lainnya. Kita tanpa sadar mengotakkan dosa kecil dan dosa besar, padahal tidak ada pembeda tersebut di Alkitab.
Dalam Roma 3:9-31, tertulis bahwa semua manusia adalah orang berdosa, yang tidak memiliki kelebihan satu dibandingkan yang lain, dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Semua suku apa pun ada dibawah kuasa dosa, tidak ada yang benar. Alkitab mengajarkan bahwa dengan mengenal Taurat kita jadi mengenal apa itu dosa, dan bahwa kita semua telah berdosa sehingga patut dihukum mati. Hanya dengan kasih karunia Allah saja kita diselamatkan, didamaikan dari dosa, dan dibenarkan. Dalam ayat 27, dikatakan bahwa kita sama sekali tidak memiliki dasar untuk bermegah berdasarkan perbuatan kita, termasuk bermegah atas dosa yang lebih sedikit maupun perbuatan baik yang lebih banyak.
Yakobus 2:10 mengatakan, “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.” Bila kita tidak membunuh namun menghina orang lain, sama saja kita melanggar hukum dan melawan Allah juga. Kedua bagian Alkitab ini sama sekali tidak memanggil kita untuk membedakan saudara, teman, dan keluarga kita sebagai pendosa besar atau kecil. Kita tidak dipanggil untuk mendiagnosis mereka sebagai pendosa karena pada naturnya kita semua adalah pendosa dan patut dihukum.
Akar dosa dari Adam yang diturunkan kepada semua keturunannya, termasuk kepada kita, membuat semua manusia sudah lahir dengan dosa yang disebut original sin (Rm. 5:12-21). Agustinus mengatakan bahwa dosa yang diturunkan ini merupakan hukuman moral dari dosa Adam kepada turunannya, baik secara moral dan fisik. Akibatnya, manusia hanya bisa hidup dalam dosa dan tidak mampu melakukan perbuatan baik apa pun. Ini adalah natur kita sebagai pendosa yang membuat kita terus merasa bersalah.
Ketidakmampuan kita untuk berbuat baik dimampukan oleh Allah sendiri yang memilih dan menebus kita dari hukuman dosa. Anugerah Allah yang memampukan kita untuk mengenal Dia, membarui kita, dan membangkitkan kita dari dosa. Pemeliharaan Allah juga memampukan kita untuk bisa bertekun dan melewati tantangan dosa di dunia ini.
Kiranya kita dapat lebih rendah hati untuk mengingat bahwa kita semua sama berdosanya dan patut dihukum. Ingatlah betapa kita perlu terus minta pengampunan-Nya, minta penguatan dan pemeliharaan Allah untuk terus tekun melawan dosa. Kiranya kita lebih rendah hati sebelum menghakimi orang lain dan justru mendoakan orang lain agar bisa dimampukan untuk melawan dosa.
Daniella Satyasari
Jemaat GRII Kelapa Gading
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th ed. 2013.
2. Berkhof, Louis. Systematic Theology. Kentucky: GLH Publishing. 2017.