Reformasi bukan suatu peristiwa yang hanya dimulai ketika Martin Luther memakukan 95 tesis di pintu gereja Schloßkirche di Jerman. Reformasi merupakan suatu peristiwa yang Tuhan sudah siapkan bahkan sebelum dunia dijadikan, dimulai, dan dipersiapkan bertahun-tahun sebelumnya dan oleh banyak orang yang mencintai Tuhan, namun pada hari ini tidak kita kenal. Johannes Oecolampadius adalah salah satu dari orang yang dunia pada hari ini tidak kenal dan hampir terlupakan. Meskipun dia tidak mencetuskan Reformasi seperti yang Luther lakukan, namun dia berperan besar dalam pembentukan pemikiran Calvin dan Bucer, khususnya dalam konsep ibadah dan struktur pemerintahan. Kita tidak akan melihat detail pemikiran tokoh ini. Anda dapat melihat pemikirannya secara singkat di dalam buku yang diterbitkan oleh Reformed Heritage Books yang ditulis oleh Diane Poythress dengan judul “The Reformer of Basel: Johannes Oecolampadius”. Tema yang akan kita sorot kali ini adalah persekutuan orang-orang kudus (communion of the saints).
Di dalam Alkitab, tema ini adalah tema yang sangat sering muncul. Sebagai contoh, Yusuf menyebut Allah YHWH dengan menggunakan nama “Allah dari Abraham, Ishak, dan Yakub”. Dari contoh ini kita dapat melihat bahwa Yusuf menarik benang merah imannya dari Abraham, Ishak, dan Yakub. Yusuf percaya dan beribadah kepada Allah yang dipercayai oleh Abraham, Ishak, dan Yakub. Ada dasar iman yang dipegang oleh Abraham, Ishak, dan Yakub yang akhirnya diturunkan dan dipegang juga oleh Yusuf. Sama halnya di dalam kehidupan Kristen kita sekarang, kita membaca Alkitab di mana di dalamnya ada dasar iman yang dipercayai oleh pendahulu-pedahulu kita di dalam iman. Yang dimaksud dengan persekutuan orang-orang kudus adalah sebuah persekutuan yang terjalin di antara orang-orang yang telah dipilih dan ditebus oleh Allah dalam konteks saling membangun iman dan membawa yang beriman lebih belakangan untuk semakin mengenal Kristus. Persekutuan ini tidak terbatas hanya pada orang-orang kudus di zaman di mana seseorang hidup, namun mencakup juga orang-orang yang sudah mendahului mereka bertemu dengan Kristus melewati kematian tubuh. Martin Luther dalam hal ini mempunyai gambaran yang sederhana. Dia pernah mengatakan, “Teman-teman dekat saya hampir semuanya sudah mati, dan saya datang dekat kepada mereka di dalam buku-buku mereka yang saya baca.” Jadi seperti yang dikatakan di dalam Ibrani pasal 11, di dalam communion of the saints kita dapat melihat teladan iman ketika kita melihat mereka secara langsung, maupun ketika kita membaca tentang mereka di dalam Alkitab maupun buku-buku yang mereka tulis atau tentang kehidupan mereka yang ditulis oleh orang lain. Joel R. Beeke sebagai contohnya, dia sependapat dengan Luther dan dia pernah mengatakan bahwa dia sangat senang dengan buku yang ditulis oleh seorang tokoh Puritan yang besar, Samuel Rutherford. Dia mengaku bahwa membaca buku “Letters of Samuel Rutherford” sangat menguatkan dia, dan meskipun setelah Rutherford mati ratusan tahun lamanya, dia masih tetap dapat menyediakan penghiburan dan menguatkan iman sesama orang Kristen yang muncul beratus-ratus tahun setelah kematiannya.
Communion of the saints dalam konteks ini merupakan sebuah means of grace yang digunakan oleh Allah untuk membawa umat-Nya untuk mengenal Allah dan semakin mempertumbuhkan iman mereka. Bukan hanya sekadar mempertumbuhkan iman mereka, tetapi juga dalam konteks tertentu menguatkan dan terus meyakinkan mereka akan assurance of faith (kepastian iman di dalam Kristus). Kita tahu bahwa kehidupan Kristen bukan merupakan kehidupan yang mudah dihidupi. Tuhan Yesus tidak pernah menjanjikan bahwa langit akan selalu cerah dan tidak ada batu yang menyandung kita, tetapi Dia berjanji bahwa Dia akan beserta kita, dan itu cukup. Memang itulah pengharapan dan penghiburan terbesar yang dapat dimiliki oleh seorang Kristen. Paulus menggambarkan kehidupan Kristen ini dengan pertandingan (di dalam bahasa Inggrisnya race). Kita tahu bahwa meskipun teknologi sudah semakin canggih dan dapat membantu para pelari untuk berlari lebih jauh dan lebih lama serta lebih cepat, kecanggihan teknologi ini tidak menghindarkan maupun mengeliminasi kemungkinan bahwa akan ada cedera. Adakalanya seorang Kristen mengalami “cedera rohani”, bagaikan seorang pelari yang tidak dapat melihat garis finish yang kemudian menjadi tawar hati dan kemudian menyerah dalam pertandingan (race) ini. Namun justru di dalam communion of the saints inilah orang-orang Kristen mendapatkan kekuatan. Jikalau seseorang berlari dalam jarak yang sangat panjang dan dia tidak dapat melihat ujung dari garis finish itu, dia menjadi ragu apakah sebenarnya garis finish itu sudah dekat, ataupun bahkan garis itu sebenarnya ada atau tidak. Tetapi ketika kita melihat hidup orang-orang yang telah mendahului kita telah menyelesaikan pertandingan iman, kita kembali dikuatkan dan mendapatkan kepastian bahwa garis finish itu, meskipun tidak sedekat yang kita bayangkan, dan mungkin kita masih harus menempuh jarak yang sangat panjang untuk mencapainya, memang benar-benar ada. Melalui artikel ini kita akan melihat bagaimana Oecolampadius berperan dalam Reformasi yang berada di Jenewa meskipun mereka tidak pernah bertemu secara langsung.
Oecolampadius: His Context
Lentera bagi gereja di zaman pra-Reformasi ini lahir pada tahun 1482. Di dalam kedaulatan Allah, Oecolampadius dalam bahasa Yunani berarti “lentera rumah”. Dia lahir di Weinsberg, dan menyelesaikan pendidikannya di Universitas Heidelberg pada usia 19 tahun. Kemudian karena suatu epidemi Death Plague yang melanda benua Eropa yang menghabiskan (menurut catatan sejarah) sepertiga dari populasi Eropa, akhirnya ayahnya mengirim dia ke Bologna untuk belajar hukum Roma. Setelah dia belajar hukum, dia kembali ke Heidelberg untuk belajar theologi. Setelah dia menyelesaikan pembelajaran theologinya, ia menjadi pengkhotbah karena keluarganya cukup terpandang. Jabatan pengkhotbah saat itu adalah posisi baru di dalam gereja karena sebelumnya tidak ada pengkhotbah. Sebagaimana kita ketahui, pada saat itu Reformasi baru saja terjadi dan struktur gereja sedang kacau. Pada saat itu yang mengisi mimbar gereja adalah mahasiswa humanis yang baru saja lulus, dan Oecolampadius adalah salah satunya. Pada tahun 1513, dia belajar di Tübingen dan bertemu dengan Philip Melanchton (murid dan penerus Martin Luther). Dari sanalah dia mulai tergabung dalam Reformasi gereja.
Colleagues of the Kingdom
Ketiga orang ini (Martin Bucer, Johannes Oecolampadius, dan John Calvin) mempunyai relasi yang sangat unik. Bagaikan pelari estafet yang mengoper tongkat estafet dari pelari yang satu ke pelari berikutnya. Namun perlu kita ingat meskipun mereka memegang tongkat estafet yang sama, namun mereka adalah pelari yang berbeda, bentuk track yang mereka tempuh juga berbeda. Keunikan mereka akan muncul dan mereka tidak mungkin berlari dengan gaya yang sama. Apa yang saya coba gambarkan adalah Oecolampadius hidup di zaman pra-Reformasi dan tugasnya adalah menyongsong Reformasi yang akan terjadi di kemudian hari (meskipun dia tidak menyadarinya), sedangkan Bucer adalah orang yang di dalam kedaulatan Allah ditetapkan sebagai orang yang akan membimbing Calvin untuk bersama-sama melakukan dan mendukung Reformasi. Calvin, di dalam konteks ini, berada dalam klimaks dari rangkaian ini. Calvinlah yang membangun kembali seluruh theologi yang sudah melenceng, dan dia menyambung garis theologi yang benar yang dimulai dari Agustinus.
Oecolampadius sangat terpengaruh dengan pencetusan Reformasi saat Martin Luther memantekkan 95 thesisnya di pintu gereja Wittenberg. Pada saat itu, perkembangan teknologi memungkinkan orang-orang untuk mencetak ulang karya-karya yang sudah lama tidak beredar. Salah satu contohnya (dan yang akhirnya memengaruhi dia) adalah John of Crysostom. Perlu kita perhatikan bahwa pembentukan theologi bukan hanya sekadar studi akademik. Ketika Calvin belajar dari Oecolampadius, dia tidak melihat hal itu semata-mata dari pengajarannya saja, tetapi ada hal-hal tertentu dalam sikap Oecolampadius terhadap Allah yang akhirnya membuat Calvin untuk mengerti Allah secara demikian juga. Misalnya kita mengenal Calvin sebagai orang yang sangat mementingkan kedaulatan Allah, itu karena di dalam konsep ibadah Oecolampadius, dia sangat mementingkan bagaimana menghargai Allah.
Kita akan melihat bagaimana Reformasi Calvin dibentuk oleh orang-orang yang mendahuluinya. Martin Bucer adalah seorang Reformator yang berada di Strassbourg, dia memulai Reformasi sebelum Calvin datang. Ketika Calvin diusir dari Jenewa untuk pertama kalinya, dia kemudian melarikan diri ke Basel di mana dia akhirnya menikah dan mempunyai anak. Di sana jugalah Calvin mendapatkan pelatihan pelayanan gerejawi yang mempersiapkan dia untuk pelayanannya di Jenewa. Bucer menjadi senior Calvin di dalam Reformasi. Dia adalah orang yang sangat dipengaruhi oleh Oecolampadius. Banyak hal di dalam pemikiran Bucer yang serupa dengan Oecolampadius. Bucer juga sangat menghargai Oecolampadius, sampai-sampai ketika dia melakukan pembinaan dan pelatihan bagi pengkhotbah, dia memberikan pendeta-pendeta yang ditahbiskan setelah pelatihan itu masing-masing commentary yang ditulis oleh Oecolampadius. Dan ketika itu Calvin juga dilatih oleh Bucer dan dengan informasi ini kita dapat memastikan bahwa Calvin sangat dipengaruhi oleh Oecolampadius.[1]
Kita juga mengenal bahwa gereja Calvin di Jenewa hanya menyanyikan lagu-lagu himne dari Mazmur. Hal ini bukan dimulai dari gereja Calvin di Jenewa. Menurut catatan sejarah, justru gereja di Basellah yang memulainya terlebih dahulu[2] dan Calvin mengadopsi konsep ini ke dalam gereja yang dipimpinnya di Jenewa. Sebelum Reformasi, orang-orang awam atau jemaat tidak diperbolehkan untuk bernyanyi atau bahkan memiliki Alkitab. Pada saat Roma Katolik berkuasa, hanya orang-orang yang mempunyai jabatan di dalam gereja yang diperbolehkan untuk melayani dan menyanyi.
Jadi dari kedua hal ini sudah cukup jelas bahwa Calvin, meskipun seorang yang sangat cemerlang dan konsisten di dalam pemikirannya, dia tidak menghasilkan seluruh theologinya sendiri. Saya juga percaya bahwa di dalam kehidupan Kristen tidak ada satu orang pun yang dapat mendalami pergumulan theologi secara dalam tanpa adanya komunitas yang tergabung di dalam persekutuan orang-orang kudus ini. Banyak orang yang salah berpendapat bahwa pertumbuhan iman dan kerohanian tidak perlu ditunjang oleh komunitas. Melalui artikel pendek ini justru kita menyadari bahwa Reformator sebesar Calvin pun masih ditunjang oleh pergumulan dan pertumbuhan theologinya dari orang yang mendahului dia. Yang disebut dengan komunitas bukanlah sekelompok orang yang bertemu dalam jangka waktu yang rutin, maupun sekelompok orang yang melakukan hal yang sama saja. Tetapi bagi Calvin, Luther, Bucer, dan Oecolampadius mereka adalah Colleagues in the Kingdom – rekan-rekan sepekerjaan di dalam Kerajaan Allah. Hal yang menjadi faktor pengikat mereka bukan kedekatan tempat maupun yang lain, tetapi yang terpenting adalah saling menunjang untuk menggenapkan pekerjaan Allah, di dalam konteks mereka adalah Reformasi.
Perlu juga diingat, meskipun komunitas sangat penting bagi pertumbuhan pengenalan dan kasih akan Allah, kita tidak boleh memutlakkan komunitas sampai pada tahap tidak memedulikan bagaimana kita sebagai seorang pribadi hidup di hadapan Allah. Coram Deo adalah sebuah slogan penting yang muncul dalam Reformasi dan merupakan suatu harta karun yang harus kita pelihara. Ketegangan antara komunitas dan kehidupan pribadi ini harus dipertahankan, supaya kita tidak bergantung sepenuhnya kepada komunitas dalam pertumbuhan iman kita dan juga tidak jatuh ke ekstrem yang lain di mana kita hanya mementingkan pengetahuan theologis kita pribadi, pertumbuhan kerohanian pribadi saja.
Dan sekarang bagi kita yang tergabung di dalam suatu gerakan yang bernama Gerakan Reformed Injili, apa yang kita lakukan terhadap sesama kita yang bisa kita lihat, ajak bicara, dan layani di dalam Gerakan ini? Saling menunjangkah kita dalam mempertumbuhkan pengenalan dan kasih akan Allah? Atau sebaliknya menghalangi sesama kita untuk melihat pekerjaan yang sedang Tuhan lakukan di dalam dan di luar komunitas yang bernama Gerakan Reformed Injili ini?
Ryan Putra
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Reformer of Basel: The Life, Thought and Influence of Johannes Oecolampadius, Diane Poythress (Reformed Heritage Books), 47.
[2] Ibid.