Kemapanan atau establishment adalah hal yang mengerikan dalam dunia ini. Kita bisa melihatnya sendiri dalam sejarah. Yang sering kali mampu menghancurkan orang Kristen bukanlah senjata, kekerasan, pengucilan, atau apa pun yang menyakitkan, melainkan keamanan, kemapanan, kenikmatan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Pencobaan inilah yang juga ternyata mengguncang kekristenan pada masa sebelum Reformasi. Asal mulanya bukan pada masa tepat sebelum Reformasi saja, melainkan ratusan tahun sebelumnya, pada saat kejayaan melanda kekristenan secara fenomenal.
Mari kita lihat masa Gereja Mula-mula, masa setelah Pentakosta, setelah Gereja dimeteraikan oleh Roh Kudus secara ceremonial. Pemerintahan yang berkuasa pada masa Gereja Mula-mula adalah kekaisaran Romawi. Mereka adalah bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Mereka akan menindas siapapun yang tidak mau mengakui kaisar sebagai kekuasaan yang tertinggi.
Orang Yahudi adalah salah satu bangsa yang terkenal paling keras dan tidak pernah mau mengakui kaisar. Untuk bangsa seperti ini kekaisaran Romawi cukup kelelahan dan akhirnya memberikan sedikit pengecualian. Ini justru akan menjadi masalah terbesar orang Kristen pada saat itu. Mengapa? Karena orang Kristen juga tidak mau mengakui kaisar. Bagi orang Kristen, raja yang paling berkuasa adalah Tuhan Yesus Kristus dan bukan kaisar (Kis. 17:7). Karena alasan ini jugalah Tuhan Yesus dituduh sebagai bersalah dan dikenakan hukuman salib (Yoh. 19:12). Apakah mungkin kaisar memberikan sebuah pengecualian lagi setelah bangsa Yahudi? Tidak. Memberikan toleransi sekali lagi akan sama saja dengan mengurangi otoritas kekaisaran, dan kemungkinan agama lain yang ingin menjadi seperti itu menjadi semakin banyak. Jadi akhirnya kekristenan tidak ditoleransi oleh kekaisaran Romawi, dan akibatnya adalah orang Kristen banyak yang dianiaya, dikejar-kejar untuk dibunuh. Inilah konteks penganiayaan dan kesulitan orang Kristen pada abad mula-mula, apalagi ketika kaisar yang bengis dan membenci kekristenan yang memerintah.
Pada saat itu orang Kristen banyak mengalami penganiayaan, sulit menyatakan iman secara publik, dan mungkin mati dibunuh hanya karena menyatakan Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat. Tetapi apakah keadaan seperti ini mematikan iman mereka? Apakah banyak di antara mereka menyangkal Tuhan Yesus supaya nyawa bisa selamat? Apakah jumlah mereka menyusut sampai akhirnya habis? Tidak. Hal demikian tidak pernah terjadi. Justru kebalikannya, mereka makin bertumbuh, jumlah mereka dari hari ke hari semakin banyak, dan iman mereka kepada Kristus semakin kuat. Ini adalah fakta sejarah bahwa kekerasan dan paksaan tidak pernah bisa menghancurkan Gereja Tuhan.
Apa yang terjadi setelah itu? Penganiayaan di Barat ternyata tidak berlangsung selama-lamanya. Pada suatu hari ada kaisar Romawi yang bertobat dan menjadi orang Kristen, yaitu kaisar Konstantin. Konstantin akhirnya mendeklarasikan bahwa agama Kristen menjadi agama yang tidak lagi dilarang, bahkan menjadi suatu anjuran untuk dianut. Akhirnya mayoritas orang berubah menjadi orang Kristen. Tiba-tiba saja dalam sekejap mata, penganiayaan atas orang Kristen lenyap. Mulai dari sinilah gereja mendapatkan kekuatannya secara fisik dan institusional.
Apakah yang terjadi setelah adanya keamanan dan kemapanan ini selama ratusan tahun? Apakah gereja makin berkembang dan melaksanakan seluruh tugasnya? Sayang sekali, ternyata tidak demikian. Baru seratus tahun lebih setelah hal itu terjadi, Eropa yang telah dominan dengan kekristenan malah masuk pada dark ages yang telah kita ketahui tidak memiliki perkembangan yang signifikan. Tidak berhenti sampai di sana saja, gereja juga justru akhirnya menjadi dominan dalam seluruh hal yang ada, bahkan membawahi pemerintahan negara. Gereja semakin kuat dengan struktur hierarkisnya yang memungkinkan terjadinya banyak permainan politis di posisi hierarkis teratas, padahal struktur seperti ini tidak pernah diajarkan oleh Alkitab.
Apa yang terjadi selanjutnya? Apakah gereja menggunakan kekuatan yang dimiliki dengan baik dan mengarahkan orang kepada Tuhan? Tidak. Gereja malah menggunakan kekuasaannya untuk mengejar lebih banyak lagi harta, kuasa, nepotisme, dan membela kaum bangsawan. Gereja bahkan sempat menjual keselamatan demi uang. Hal terburuk terjadi pada zaman Martin Luther.
Pada zaman Martin Luther hidup, Leo X menjabat sebagai paus. Leo X memiliki hasrat seni yang cukup tinggi, dia menginginkan segalanya indah dan baik secara estetis. Oleh karena itu, dia berusaha membangun St. Peter’s Cathedral yang begitu besar dan dipenuhi dengan benda-benda artistik yang mahal. Paus Leo X juga bahkan membayar Michelangelo yang terkenal pada saat itu untuk menggambar lukisan di langit-langit Sistine Chapel. Membangun gereja seperti ini memakan biaya yang sangat mahal dan akhirnya menguras kas gereja pada saat itu. Ketika uang gereja habis dan Leo X tidak dapat melanjutkan pembangunan gedung itu, apa yang dia lakukan? Ternyata dia memiliki seorang teman yang bernama Albert of Mainz. Nepotisme sedang terjadi di sini. Albert memiliki dua keuskupan pada waktu itu, dan sekarang dia menginginkan yang ketiga. Hal ini adalah hal yang melawan gereja dan tidak boleh terjadi pada saat itu. Tidak ada orang yang boleh memegang tiga keuskupan sekaligus. Hanya ada satu jalan untuk mendapatkannya, yaitu jika ada perintah atau dispensasi langsung dari paus. Di sinilah terjadi bisnis antar kedua orang itu. Leo X dan Albert setuju untuk bekerja sama. Albert menjanjikan uang sebesar sepuluh ribu ducats kepada Leo X jika ia diizinkan untuk memiliki keuskupannya yang ketiga.
Ternyata Albert juga tidak memiliki uang tunai sebanyak itu. Kebanyakan dari hartanya adalah dalam bentuk tanah. Dia kebingungan dan mencari cara untuk mendapatkan uang itu. Lalu teringatlah dia dengan seorang biarawan di bawah keusukupannya yang bernama Johann Tetzel. Tetzel adalah orang yang memiliki jiwa wirausaha dan sangat berbakat dalam hal seperti ini. Dia mengeluarkan ide tentang penjualan indulgensia atau surat penghapusan dosa kepada rakyat biasa.
Surat indulgensia sebenarnya pada awalnya diadakan ketika sedang ada konteks perang, seperti perang salib. Surat ini bertujuan untuk memotivasi rakyat untuk maju berperang dengan iming-iming bahwa mereka akan bebas dari dosa dan api purgatori jika mereka berperang untuk Katolik Roma. Banyak para bangsawan juga ingin mendapatkan surat indulgensia ini tapi tanpa mengorbankan nyawa mereka dan anak-anak mereka, jadi mereka membayar rakyat jelata untuk menggantikan posisi mereka. Yang menggantikan posisi mereka akan mendapatkan uang, sedangkan surat indulgensia akan jatuh ke tangan para bangsawan. Ini merupakan politik gereja yang sangat kotor. Tetapi tidak cukup kotor sampai surat itu berkembang dalam fungsi di zaman Luther. Bukan hanya untuk yang pergi berperang, tetapi sekarang surat itu bisa didapatkan oleh siapa saja yang memiliki uang untuk membelinya. Dalam kampanye yang dilakukan oleh Tetzel, khasiat indulgensia ditambahkan lagi yaitu bisa mengampuni dosa yang terdahulu, sekarang, dan yang akan datang. Bukan hanya diri sendiri yang bisa ditolong dengan surat yang dibeli, tetapi juga bisa membelikan orang lain. Bukan hanya orang yang masih hidup yang bisa dibelikan, bahkan orang yang sudah mati pun bisa dibelikan surat indulgensia agar terbebas dari api purgatori. Jadi sejak itu, telah resmi bahwa pertobatan dan keselamatan bisa dibeli dengan uang. Orang yang mengatakan dirinya Kristen sudah bukan Kristen lagi. Keselamatan yang digenapi dalam Tuhan Yesus dengan pengorbanan darah-Nya yang suci telah berani mereka jual.
Beginilah parahnya keadaan gereja pada saat itu. Kemerosotan demi kemerosotan melanda gereja sejak mencapai kemapanan dan perdamaian. Pada saat orang Kristen masih kesulitan dan teraniaya, hal-hal seperti ini tidak pernah terpikirkan akan terjadi. Tapi Iblis tidak henti-hentinya menjebak umat Tuhan. Tidak bisa dengan cara yang kasar, maka dia akan bergerak dengan cara yang halus. Begitu halusnya sehingga tidak terasa kita sudah berada di ambang kematian dan tidak bisa kembali lagi. Hal kemapanan atau establishment adalah salah satu hal yang bisa kita pelajari dari sejarah gereja. Bukannya gereja tidak boleh established, tetapi apa yang dilakukan untuk menyikapi itu? Apakah terbuai dengan keadaan yang aman sehingga melupakan Tuhan? Ataukah tetap bisa melihat pimpinan Tuhan dan taat kepada-Nya? Establishment harus dilihat sebagai alat untuk memuliakan Tuhan dan bukan untuk memuaskan segala nafsu keberdosaan. Pelajaran ini begitu penting, karena ini adalah pencobaan yang besar di zaman ini. Perjalanan sejarah gereja selanjutnya akan mengajarkan kita sedikit tentang bagaimana menyikapi hal ini, khususnya sejarah orang Puritan.
Setelah gereja merosot seperti ini, apakah yang terjadi? Apakah Tuhan diam saja dan tidak menunjukkan pemeliharaan-Nya? Ternyata tidak. Allah adalah Allah yang baik dan senantiasa menggembalakan umat-Nya. Allah membangkitkan orang-orang untuk bertindak sebagai Reformator, melakukan reformasi terhadap keadaan gereja yang sudah bobrok.
Apa bedanya revolusi dengan reformasi? Kenapa pekerjaan para Reformator tidak diidentikkan dengan revolusi? Bukankah reformasi melibatkan pemberontakan dan pembentukan gerakan yang baru? Betul bahwa ada pemberontakan, tetapi berbeda dengan revolusi. Mengapa? Karena revolusi definisinya adalah membuang seluruh yang lama yang pernah ada (sejarah) dan mau membentuk benar-benar dari baru lagi sesuai dengan idealisme pembawa revolusi itu sendiri. Berbeda dengan revolusi, reformasi adalah semangat transformatif, semangat yang mau mengubah sesuatu yang sudah rusak untuk kembali menjadi benar. Apa yang benar bukanlah ide atau buatan para Reformator, melainkan sudah ada sejak awal kekristenan berdiri. Standar yang kokoh, kebenaran yang dipegang oleh umat Allah, yaitu firman Tuhan, Alkitab.
Martin Luther adalah salah satu tokoh besar yang dibangkitkan oleh Tuhan, memimpin dan menjadi pemicu api reformasi terbesar di zaman itu. Hal besar yang dilakukannya adalah pemakuan 95 tesis ke gerbang gereja Schloßkirche di Wittenberg. Tanggal ia memakukan tesis-tesis tersebut, yaitu 31 Oktober dijadikan peringatan hari Reformasi. Mengapa Luther melakukannya? Salah satu penyebabnya adalah karena berita tentang surat indulgensia Johann Tetzel sampai ke telinganya dan membuat dia sangat marah. Ketika memakukan 95 tesis tersebut, dia ingin membungkam siapapun yang berdebat mengenai pembelian keselamatan itu.
Martin Luther tidak memiliki jiwa pemberontak seperti yang orang kira. Luther sebenarnya ingin perdamaian dalam Katolik Roma dan kembali ditegakkannya kebenaran. Hal ini terbukti dari tesisnya yang ke 50, “Orang Kristen harus diberi tahu bahwa jika paus mendengar yang dibawakan oleh para pengkhotbah indulgensia, paus akan berpendapat bahwa lebih baik gereja St. Peter dihancurkan daripada dibangun tetapi menggunakan kulit, daging, dan darah dari domba-dombanya sendiri.” Di sini Luther tidak bermaksud untuk memberontak kepada paus. Dia masih percaya kepada paus. Sayang sekali Paus Leo X tidak tertarik akan perdebatan theologis dan menganggap 95 tesis Luther hanya teriakan orang mabuk saja. Pada akhirnya ini akan membawa Luther sampai pada ekskomunikasi dari Katolik Roma. Tetapi rakyat yang mendengar informasi tentang 95 tesis Luther akhirnya disadarkan dan tidak lagi membeli surat indulgensia dari Tetzel.
Yang dilakukan Luther bukanlah seperti superhero yang berperang sendirian. Tuhan membangkitkan Gereja-Nya secara komunal. Banyak Reformator lainnya sebelum masa Luther yang sudah memulai reformasi, namun gagal. Tetapi setiap yang dilakukan Reformator sebelum Luther telah memberikan jembatan dan batu loncatan bagi reformasi besar-besaran yang akan dilakukan Luther. Sekali lagi, reformasi yang besar bukan karena kekuatan Luther semata, melainkan karena pimpinan Tuhan dan pemeliharaan Tuhan. Mengapa bisa dikatakan demikian? Mari kita lihat beberapa faktor.
Pertama, pastinya adalah pekerjaan Reformator sebelum Luther, seperti Jan Hus, Peter Waldo, dan John Wycliffe. Mereka telah terlebih dahulu membuka jalan. Kedua, Eropa sedang memasuki era Renaisans, yaitu era di mana mulai ada kebangkitan ilmu pengetahuan setelah dark ages. Di sinilah mulai muncul semangat back to the source. Semangat ini disebut juga semangat humanis pada zaman itu. Ini memengaruhi para Reformator untuk terus menyelidiki Alkitab sampai pada bahasa aslinya. Ketiga, kematian Copernicus yang ternyata merupakan kesalahan Katolik Roma. Hal ini menjadi pemicu bagi para ilmuwan saat itu hilang kepercayaan kepada gereja dan ingin memisahkan diri. Yang terakhir, penemuan paling besar pada saat itu, yaitu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg yang memungkinkan informasi penting (termasuk 95 tesis Luther) disebarluaskan secara cepat kepada rakyat banyak.
Hal besar yang bermula dari tindakan Luther tersebut juga akhirnya memicu reformasi di berbagai tempat di Eropa. Jadi kita bisa melihat, apa yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia, Tuhan mungkinkan jika sudah waktu-Nya dan jika itu adalah kehendak-Nya. Tuhan menggerakkan sejarah dengan begitu berotoritas.
Setelah melihat sejarah Reformasi, apa yang kita lakukan? Sudahkah kita menghargai firman Tuhan seperti mereka menghargainya? Dulu orang awam tidak boleh memegang maupun membaca Alkitab karena dianggap terlalu suci. Tetapi ketika sekarang semua sudah boleh membacanya, apakah kita menghargai dan berespons dengan benar? Dapatkah kita mempertahankan semangat Reformasi, menjunjung tinggi Kristus dan firman-Nya?
Salah satu slogan yang dihasilkan Reformasi adalah “Ecclesia Reformata, Semper Reformanda est”, artinya adalah Gereja harus selalu direformasi. Mengapa? Karena kita adalah orang berdosa yang mungkin tidak sadar dengan pergeseran-pergeseran kecil yang terjadi dalam gereja seperti Abad Pertengahan, sampai akhirnya benar-benar rusak. Setiap saat Gereja Tuhan harus menyesuaikan diri dengan apa yang Tuhan inginkan, mengubah bagian yang salah untuk kembali pada kebenaran yang sudah Allah wahyukan dan terus membuka diri bagi pimpinan Tuhan yang baru pada zaman itu. Allah ingin Gereja-Nya terus melakukan reformasi, dan bukan revolusi. Mari kita melihat diri sendiri, apakah kita sedang reformasi atau revolusi.
Rolando
Pemuda FIRES