Manusia sejati jika ia sudah menjadi ren, menjadi orang yang berperikemanusiaan. Di dalam Buku Perubahan (Yijing – The Book of Changes) dibahas tiga hal yang penting.
Pertama, peduli orang lain. Ketika engkau ingin dirimu menjadi manusia sejati, maka tegakkan orang lain terlebih dahulu. Seorang yang berperikemanusiaan adalah orang yang memikirkan kebaikan orang lain, yang peduli keadaan orang lain. Ini penting sekali. Jadi orang yang maunya sendiri, tidak peduli orang lain, itu bukan orang benar. Oleh karena itu, diperlukan suatu kesadaran untuk memikirkan bahwa diri sama dengan orang lain, senasib, sepenanggungan, sama-sama bertanggung jawab, sama perasaan. Ada satu ikatan dan kesatuan antara saya dan masyarakat saya. Kita tidak bisa memisahkan diri dari masyarakat kita. Kalau saya ingin saya sukses, saya harus memikirkan bagaimana masyarakat sukses; jika ingin saya baik, maka saya harus ingin seluruh masyarakat baik. Inilah ren. Jikalau seluruh masyarakat semua gagal, hanya saya yang sukses, itu tidak patut dibanggakan. Bagi Konfusius, itu hal yang tidak berguna. Oleh karena itu, harus ada satu perasaan sepenanggungan, seperasaan, sebeban, sejiwa, dan itulah ren. Jikalau engkau ingin menegakkan diri, tegakkan orang lain juga. Jika engkau ingin sukses, harus mencapai kesuksesan orang lain juga. Jika diri sendiri ingin ditegakkan, maka tegakkanlah orang lain juga. Maka saya berkata kepada anak saya, “Jangan kira engkau anak saya maka saya khusus akan memanjakan kamu. Kalau engkau sekolahnya tidak beres, maka engkau cukup berhenti sampai SMA saja. Tetapi anak orang lain yang pandai sekolah, saya akan dukung dia, uangnya untuk dia, bukan untuk kamu. Biar orang yang lain yang berhasil karena dia mampu, sementara kamu tidak mampu.” Maka dengan demikian, anak saya dari kecil belajar baik-baik. Karena sekolah dengan baik, maka saya kirim dia sekolah ke luar negeri. Tetapi saya tidak mengirim ke sekolah yang mahal di luar negeri, melainkan yang murah tetapi bermutu baik, yang bersifat Kristen yang baik. Lalu saya beri sebagian uang, sebagian lagi harus bekerja sendiri untuk menutupi kebutuhannya. Dia harus bergumul dan berjuang mati-matian untuk bisa bertahan dan berhasil.
Prinsip-prinsip seperti ini sebenarnya sudah ada di dalam Kitab Suci. Namun kadang-kadang di dalam wahyu umum, di dalam filsafat yang lain, ada pengertian dan istilah yang juga bagus, yang sangat bermutu yang dapat kita tangkap dan peroleh. Jadi, mencintai orang lain dimulai dari mencintai dan menghormati orang tua sendiri. Menghargai dan menghormati orang tua dan suka bergaul dengan sukacita dengan saudara-saudara akan menimbulkan sistem hormat kepada atas dan mengasihi kepada bawah. Suka bergaul dengan saudara-saudara, maka menghasilkan sikap xiao-di, hubungan atas bawah itu akan menjadi beres.
Kedua, ren itu selain mengasihi orang, juga memiliki tata krama. Ini yang disebut sebagai kemanusiaan. Sifat kemanusiaan adalah kemampuan untuk mendisiplin diri dan bisa mempunyai tata krama kepada orang lain. Jikalau engkau menghormati orang dan bersikap baik kepada orang lain, tetapi tidak bisa mendisiplin diri, engkau tetap belum mencapai kemanusiaan. Ada orang yang begitu hemat untuk diri sendiri, tetapi ketika ia menolong orang lain, ia berani memberikan cukup banyak dan menolong hingga tuntas. Saya terharu ketika membaca ada seorang yang bekerja sebagai pembuang sampah tetapi kemudian menyumbang seratus ribu dolar Amerika Serikat untuk perpustakaan nasional di New York. Dia mengatakan bahwa ia bekerja keras sebagai pembuang sampah, dan dari kecil dia senang baca buku tetapi tidak mampu membeli buku, dan selalu membaca buku di perpustakaan. Akibatnya, pengetahuannya terus bertambah. Tetapi ia tetap menjadi pembuang sampah, karena dia melihat itu pekerjaan yang mulia, karena apa jadinya jika tidak ada orang yang mau membuang sampah. Dia berpikir biarlah dia yang menanggung bau sampah itu supaya orang lain bisa hidup bahagia. Jadi dia tetap bekerja membuang sampah, rajin membaca, dan tetap hidup sederhana. Kita sering kali melihat orang yang membuang sampah tidak suka belajar serius dan rajin membaca buku di perpustakaan. Dan ketika ia mengumpulkan uang cukup banyak, ia memberikan itu untuk perpustakaan. Apakah kita juga memiliki beban untuk mendukung perpustakaan, baik di gereja kita atau STT kita?
Bisa mendisiplin diri, lalu berbuat baik kepada orang lain dengan segala tata krama yang baik, itu yang dinamakan kemanusiaan. Di dalam ren ini ada empat hal yang harus menjadi hukum, dan disebut sebagai Empat Hukum.
a) Segala sesuatu yang tidak sesuai tata krama, jangan dilihat (see no evil). Jika bertemu dengan buku yang tidak beres, jangan dilihat, jangan baca; melihat segala yang tidak beres, tidak perlu dilihat. Mata harus dipakai hanya untuk melihat hal-hal yang sesuai dengan tata krama. Jangan melihat yang tidak beres. Jika di dalam Mazmur 1 dikatakan jangan berdiri bersama orang yang fasik, jangan duduk di kumpulan orang berdosa, di dalam ajaran Konfusius, maka semua yang tidak beres jangan dilihat.
b) Segala sesuatu yang tidak sesuai tata krama, jangan didengar (hear no evil). Jangan mau mendengar semua gosip yang sebenarnya tidak ada gunanya. Orang yang paling tidak berharga dan tidak berguna adalah orang yang setiap hari tidak punya pekerjaan dan hanya sibuk dengan gosip. Saya bersyukur karena para istri hamba Tuhan di GRII tidak suka gosip. Kalau para pendeta sudah bawel di atas mimbar, kemudian istri-istri ikut bawel di bawah mimbar, maka gereja rusak. Jadi ketika pendeta sibuk berkhotbah di atas mimbar, para istri pendeta tidak perlu ikut bawel. Silakan diam dan tidak banyak cerewet. Semua kalimat-kalimat yang tidak perlu, tidak usah didengar. Ini ajaran Konfusius.
c) Semua yang tidak sesuai dengan tata krama, jangan dibicarakan (talk no evil). Semua yang tidak beres dan tidak sesuai tata krama jangan dibahas atau dibicarakan. Oleh karena itu, orang yang dididik secara filsafat Tionghoa ketika mendengar ceramah atau pendidikan tentang seks, selalu lebih peka dari orang yang dari pendidikan Barat. Kalau di dunia Barat yang ditekankan adalah kebebasan berbicara apa saja (freedom of speech). Jadi mengajar tentang seks juga boleh. Kalau orang Barat mendengar tentang pendidikan seks, mereka hanya bereaksi, “Ooo, begitu ya.” Kalau orang Jawa akan bereaksi, “Ih, jijik.” Ini akibat pengaruh pendidikan Timur.
Ada cerita tentang anak kecil yang bertanya kepada ibunya. “Mama, saya ini dari mana?” Ibunya mukanya merah kuning hijau, bingung. Wah bagaimana harus menjelaskan kepada anak usia lima tahun. Kok dia tanya seperti ini? Lalu ibunya bawa anaknya ke kamar, lalu diberi tahu. “Begini ya, papa dan mama…,” berceritalah ibunya hal-hal yang tidak tata krama. “Nah, setelah papa dan mama berkumpul, akhirnya kamu keluar.” Tetapi kelihatan anak itu sama sekali tidak tertarik cerita ibunya. Sudah setengah jam ibunya bercerita dan anaknya tidak tertarik. Ibunya bingung bagaimana lagi menjelaskan. Tiba-tiba anak itu berkata, “Mama, teman tetangga sebelah itu bilang dia itu dari California, saya itu mau tanya, kalau saya dari mana.” Nah, itulah apologetika yang terlalu cepat tanpa mau mengerti sebenarnya apa yang ingin diketahui oleh lawan bicaranya. Kita harus tahu dengan tepat apa sebenarnya kesulitan orang yang bertanya kepada kita, lalu memberikan jawaban yang dia perlukan, bukan bercerita menurut apa yang kita persepsikan.
d) Semua yang tidak sesuai dengan tata krama, jangan dipegang (touch no evil). Jangan pegang, jangan sentuh, jangan berurusan dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan tata krama, semua hal yang tidak beres. Kita harus berhati-hati untuk tidak menyentuh hal-hal yang tidak beres, yang tidak sesuai dengan kemanusiaan.
Kesimpulan, semua yang tidak sesuai dengan tata krama, jangan lihat, jangan dengar, jangan bicara, jangan sentuh. Betapa indahnya pemikiran Konfusius. Dan pada akhirnya semua ajaran ini disimpulkan oleh Konfusius menjadi dua kalimat, yang disebut The Golden Rule of Confusianism: “Semua yang tidak engkau inginkan, jangan lakukan kepada orang lain.” Setiap agama memiliki golden rule (hukum emas) dari prinsip etikanya.
Hukum emas (golden rule) dari Konfusianisme yang merupakan kalimat dan prinsip paling penting di dalam teori etikanya, adalah: Jangan engkau melakukan atau memberikan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika diperlakukan atau diberi hal itu. Tuhan Yesus juga memiliki hukum emas (golden rule), yaitu: Apa yang engkau ingin orang lain lakukan atau berikan kepadamu, lakukan dan berikan itu kepada orang lain. Di sini kita melihat bahwa ajaran Tuhan Yesus jauh lebih tinggi dan merupakan kebijaksanaan tertinggi: “Yang engkau inginkan diperlakukan kepadamu, lakukanlah pada orang lain.” Satu kalimat singkat yang positif dan agung.
Sekalipun kelihatannya sama seperti ajaran Konfusius, tetapi berbeda sekali, karena Konfusius mengajarkan secara prinsip negasi (sifat negatif), yaitu apa yang engkau tidak inginkan, jangan lakukan. Semua kondisi negatif ini dibuang oleh Tuhan Yesus. Yesus berkata, “Apa yang kau inginkan, lakukan itu pada orang lain.” Betapa bahagianya menjadi orang Kristen yang bisa belajar dari Tuhan Yesus. Semua kalimat yang terbesar di dunia filsafat, tidak bisa sebanding dengan kalimat Tuhan Yesus, karena inilah cahaya yang asli, sementara semua yang lain hanya bayang-bayang dari realitas yang asli. Tidak ada hal yang bisa muncul secara megah dan nyata, karena semua itu hanyalah bayang-bayang dari apa yang ada pada Kristus, Sumber yang asli dan nyata.
Kalimat paling penting di dalam etika Konfusianisme, hukum emas ajaran Konfusianisme, adalah: Jangan lakukan sesuatu yang engkau tidak ingin orang lain lakukan kepadamu. Dengan hukum emas ini, barulah seseorang bisa menjalankan kesetiaan ke pihak atas, pengertian dan cinta kasih ke pihak yang di bawah, tata krama, dan musik.
Ketiga, menghidupkan – sheng. Pengertian ren atau kemanusiaan termasuk juga melahirkan atau menghasilkan kemanusiaan itu sendiri. Moral terbesar dari alam semesta yaitu menghidupkan. Melahirkan atau menghasilkan kehidupan adalah hal yang terbesar di seluruh semesta. Ini adalah kebajikan teragung yang ada dalam langit dan bumi. Moral terbesar di dalam seluruh alam semesta yang harus kita teladani yaitu menghasilkan hidup pada diri orang lain. Dr. Sam Ratulangi, seorang tokoh Minahasa pernah mengatakan, “Tujuan hidup adalah menghidupkan hidup yang lain (the meaning of life is to make life for other living).” Dia seperti menangkap apa yang Konfusius ajarkan. Oleh karena itu, jikalau keinginan kita sebagai orang bermoral adalah ingin menghasilkan hidup pada diri orang lain, kemanusiaan manusiamu itu betul-betul sukses. Mengapa saya hidup? Saya hidup untuk menghidupkan orang lain, agar orang lain bisa hidup, dan dengan demikian saya bisa menghidupkan masyarakat. Jika semua presiden, semua raja, semua pembesar, semua pemimpin dunia mengerti kalimat ini, lalu berjuang menjalankannya, maka rakyat akan berbahagia.
Allah adalah Tuhan yang tidak pernah guncang. Ia punya rencana, Ia tidak pernah berubah, di mana Dia yang memiliki hidup adalah untuk menghidupkan semua hidup yang Dia cipta. Tetapi bukan berarti lalu manusia boleh sembarangan. Dia akan menghabisi mereka yang melanggar keadilan dan kebenaran Allah. Itu sebabnya, kiranya setiap hamba Tuhan boleh sungguh-sungguh menyatakan keindahan dan kekuatan firman Tuhan dan memuliakan Tuhan. Tuhan Yesus mengajarkan kebenaran Kitab Suci kepada bangsa yang bukan Kristen, sehingga mereka bisa mendapatkan kehidupan. Kiranya kita dipakai Tuhan untuk menghidupkan orang lain melalui firman dan kebenaran Allah.
Keempat, menjalankan (xing). Semua konsep kebajikan, konsep kebenaran, konsep kasih, bukan untuk diteorikan saja, tetapi harus dilaksanakan. Xing berarti menjalankan atau melaksanakan. Di dalam upaya untuk menjalankan ini, ada dua aspek yang harus diperhatikan, yang disebut xiuji, yaitu: a) membentuk karakter diri. Yang pertama-tama adalah membentuk atau melangsungkan suatu studi; dan b) mengoreksi, menggunting, atau merapikan diri. Jadi xiuji berarti membentuk karakter diri dengan rela, berani mengoreksi diri, membentuk diri dan membenahi diri. Melakukan sesuatu dalam pengertian xing bukan sekadar memberi beras atau berbuat amal, tetapi yang pertama-tama adalah harus membentuk karakter diri. Kita harus memiliki perilaku yang beres. Perlu memiliki kemampuan untuk mempertumbuhkan dan membuat diri menjadi lebih baik dengan cara berani mengoreksi diri sendiri. Orang yang selalu melihat orang lain kurang dan tidak beres, sebenarnya diri sendirinya yang tidak beres. Jika kita hanya bisa tidak setuju dengan orang lain, lalu berusaha membentuk usaha saingan, maka dengan motivasi seperti itu, satu hari yang kita kerjakan akan jauh lebih buruk daripada orang yang kita kritik. Sejarah sudah membuktikan hal ini. Setiap revolusi terjadi karena tidak puas dengan apa yang ada, tetapi setelah itu, hasil revolusinya lebih buruk dari sebelumnya. Pertama-tama memang ada usaha untuk tidak mau kalah dari yang sebelumnya, sehingga berusaha menunjukkan hal baik, tetapi dengan motivasi seperti ini, perilaku itu tidak tahan lama, dan kemudian hasil akhirnya adalah apa yang memang aslinya akhirnya muncul, yaitu semua menjadi lebih buruk. Ketika semua sudah mulai mapan, sudah biasa dipuji karena terlihat hebat, kuasa menjadi makin besar, maka mulai menindas orang lain. Sifat manusia begitu rusak, sehingga tidak ada satu orang yang mengkritik orang lain yang akhirnya bisa lepas dari apa yang dia kritik terjadi pada dirinya sendiri. Itu sebab hal seperti ini berbahaya sekali. Perlu kemauan keras untuk mengoreksi diri, membentuk diri, dan menjadikan diri lebih rela diperbaiki.
b) Melakukan di dalam segala sesuatu. Orang yang mengetahui bagaimana membentuk dan mengoreksi diri, dan menjalankan segala sesuatu dengan mengasihi orang lain, maka orang ini adalah orang bermoral. Akibatnya, seluruh rakyat akan diberkati dan segala sesuatu akan berkembang. Jika engkau ingin terjadinya kebangunan di suatu bangsa, di mana bangsa itu menjadi negara yang makmur dan baik, haruslah dimulai dari koreksi diri dan membentuk diri, lalu dengan cinta kasih melaksanakannya kepada orang lain. Dengan demikian, maka mengasihi orang lain seperti mengasihi dirimu sendiri itu dapat diintegrasikan menjadi satu.
Orang yang tidak bisa mencintai dirinya sendiri tidak bisa mencintai orang lain. Orang yang suka membunuh orang lain, biasanya dimulai dengan dia membenci dirinya sendiri. Karena saya benci kepada diri sendiri, tidak puas pada diri sendiri, lalu mulai iri hati pada orang lain yang bisa hidup bahagia dan nyaman, ia mulai membenci orang lain. Padahal orang yang kita lihat bahagia dan nyaman, sebenarnya banyak kesulitan dan penderitaan yang kita tidak ketahui. Maka kita perlu belajar mengerti orang lain lebih dahulu daripada mengkritik orang lain. Selalu berusaha untuk menolong, menguatkan, dan menghibur orang lain, ketimbang menghakimi orang lain. Tanpa kita memiliki cinta kasih terhadap hidup, menghargai kehidupan, kita tidak bisa mengasihi orang lain.
Jika kita dalam keadaan susah sekali, kita akan mudah sekali menjadikan orang lain menjadi objek kemarahan kita. Kita merasa diperlakukan tidak adil, melihat siapa pun engkau tidak puas dan mengomel, karena sebenarnya engkau sedang membenci diri. Orang yang sedang membenci diri sulit untuk mengasihi orang lain. Mencintai orang lain dimulai dari kita mencintai dan menghargai diri sendiri. Perkataan Alkitab sungguh sangat benar. Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Di dalam Konfusianisme sudah ada bayang-bayang kalimat ini. Ini salah satu sistem moral yang tertinggi secara ide di dalam sejarah. Amin.