Di dalam membicarakan relasi antarmanusia, maka prinsip ren menjadi inti dan pusat dari seluruh bentukan relasi antarmanusia. Kemanusiaan atau ren ini memiliki delapan aspek di dalamnya. Di dalam sesi sebelumnya, kita telah membahas dua butir yang pertama, yaitu xiao-di.
Pertama, xiao – hormat. Tata krama dimulai dengan menghormati atasan atau mereka yang lebih tua dari kita. Anak harus menghormati orang tuanya, dan bawahan menghormati atasannya. Tata krama relasi antarmanusia harus dimulai dari tahu menghormati siapa.
Kedua, di – pengertian. Ini berarti mengasihi bawahan atau yang lebih muda. Seorang yang baik adalah seorang yang bisa mengasihi, mengerti, dan mengayomi mereka yang lebih rendah atau lebih muda darinya. Yang menjadi lebih senior, yang menjadi kakak, harus tahu bagaimana mengasihi bawahan dan adik.
Ketiga, zhong – loyalitas. Ren diutarakan dalam kesetiaan di dalam menjalankan tugas, di dalam melaksanakan mandat dari atasan atau orang yang lebih tinggi pangkatnya. Zhong juga dimengerti sebagai takluk yang penuh hormat. Saya tidak akan mengkhianati atau meninggalkan atasan saya.
Keempat, shu – toleransi. Prinsip yang keempat ini adalah semacam pengampunan kepada bawahan. Atasan yang baik akan mengerti kesulitan dan ketidakmampuan bawahan, dan bisa mengampuni ketika bawahan tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik seperti yang dituntut. Penuh pengertian dan penuh kerelaan mengampuni, itulah shu.
Konfusius mengatakan, “Masyarakat perlu satu kunci, yaitu zhongshu, di mana atasan penuh pengertian dan bisa mengampuni bawahan, sementara bawahan penuh kejujuran, ketulusan untuk setia penuh, dan hormat kepada atasan. Kalau hubungan atas-bawah ini bisa berjalan dengan baik, maka masyarakat akan sejahtera. Seluruh hidup tidak ada yang lebih penting dari kedua istilah ini zhong-shu.
Dibandingkan dengan pemikiran Alkitab Kristen, kita juga melihat dua prinsip untuk relasi masyarakat, yaitu kasih dan taat (love and obedience). Kita melihat pengajaran etika Konfusius begitu baik dan indah, tetapi pengajaran Kristen tetap lebih tinggi karena adanya wahyu khusus. Dari atas ke bawah adalah kasih, bukan hanya sekadar mau memahami atau mau mengerti yang di bawah, tetapi mengasihi, mencintai bawahan. Ini lebih dari sekadar toleransi atau mengampuni. Sebaliknya, dari atas ke bawah adalah ketaatan. Ini prinsip timbal balik yang dinyatakan dan diaplikasikan di dalam Efesus 5 dan 6 tentang relasi suami istri, relasi orang tua dengan anak-anaknya, relasi tuan dan hambanya. Orang tua mengasihi anak, anak taat kepada orang tua; suami mencintai istri dan istri menaati suami; Allah mencintai gereja, gereja taat kepada Allah; pemerintah mencintai rakyat, rakyat taat kepada pemerintah. Ini dua konsep di dalam kekristenan dibandingkan dengan dua konsep di dalam Konfusianisme.
Kesetiaan lebih kepada relasi profesi, tetapi ketaatan lebih kepada hubungan antarpribadi. Yang disebut “mengerti” lebih berarti suatu pengertian umum, tetapi berbicara tentang cinta kasih, kita lebih mengarah kepada hubungan pribadi terhadap pribadi lainnya. Kelihatan seperti sama, tetapi sebenarnya berbeda. Pada saat kita mempelajari filsafat Kant, pemikiran Laozi, atau pandangan Nietzsche, kita melihat adanya wahyu umum yang penting, tetapi kemudian kita perlu melihat kembali kepada pandangan Alkitab. Ketika kita bandingkan, kita akan segera sadar bahwa apa yang diajarkan Kitab Suci jauh lebih tinggi dari apa yang dikatakan manusia. Namun sering kali ketika kita membaca Kitab Suci, kita belum memiliki ketajaman untuk melihat persepsi selektif yang penting untuk menjadi pembanding dari pemikiran-pemikiran filsafat dunia. Kita menjadi Kristen bukan karena kehendak kita, bukan? Itu semata-mata karena kehendak Allah. Hingga saat ini banyak orang Kristen yang tidak menyadari hal ini, tetapi Tuhan masih memberikan toleransi kepada mereka, dan masih mengampuni mereka. Itu pun mereka masih belum bertobat. Banyak hal yang kita sudah nikmati, tetapi kita belum mengetahui hakikat yang sesungguhnya dari apa yang kita nikmati itu. Itu bagaikan orang yang makan sate tetapi tidak tahu bagaimana membuat satenya. Setiap hari kita menikmati anugerah Tuhan, tetapi kita tidak mengetahui anugerah Tuhan itu seperti apa. Hingga suatu saat engkau dapat mengetahuinya, dan engkau terkejut. Saat engkau tahu, engkau akan merasakan keindahan dan kenikmatan yang luar biasa; bukan hanya mengalami, tetapi mengerti apa yang kita nikmati. Ini adalah integrasi antara pengalaman dan pengertian di dalam kehidupan seseorang.
Kelima, li – tata krama. Setelah melihat empat relasi atas-bawah, maka semua relasi ini harus dijalankan dengan adanya aturan atau tata krama. Tata krama atau adat ritual di dalam relasi masyarakat tidak boleh tidak ada. Tetapi ketika tata krama atau ritual masyarakat itu sudah dibuat begitu rumit, maka yang terjadi adalah kepura-puraan. Peribahasa Tionghoa sendiri mengakui, kalau orang yang taat sekali tata kramanya, pastilah dia pura-pura. Orang Tionghoa itu pandai. Sejarawan Tionghoa, Lin Yu-Tang, menemukan bahwa jikalau orang Barat harus berjabat tangan satu per satu dengan seribu orang, itu akan menghabiskan banyak sekali waktu dan tenaga, maka orang Tionghoa cukup mengatupkan tangan dan mengangguk untuk ribuan orang sekaligus tanpa harus berjabat tangan satu per satu dengan mereka.
Ketika saya menikah, ada banyak hal yang dianggap aneh. Saya bukan tidak menerima angpau dari yang hadir; saya tetap menerima, tetapi kemudian, seperempat diberikan untuk sekolah theologi, seperempat untuk sinode, seperempat untuk gereja, seperempat untuk penginjilan, jadi saya sama sekali tidak menerima satu rupiah pun. Oleh karena itu, saya juga tidak mengundang mereka makan. Jadi orang menganggap saya aneh. Dan karena tidak ada pesta makan, maka orang yang hadir harus hadir di kebaktian dan hari itu hadir sekitar 1.200 orang. Ini membuat berbeda, biasanya restorannya ramai, kebaktian sepi. Ini mempermalukan Tuhan, saya tidak mau itu terjadi. Agar kebaktian ramai, maka tidak perlu ada pesta di restoran. Ini akan menghemat banyak uang dan memuliakan Tuhan. Untuk kompensasinya, saya berikan setiap orang satu Kitab Suci Perjanjian Baru, yang kami—saya dan istri saya—tanda tangani bersama. Dan juga kami berikan coklat satu bungkus. Ini pernikahan yang sederhana, cukup baik upacaranya, tetapi tidak terlalu rumit. Ini seperti yang Konfusius ajarkan: perlu ada tata krama, tetapi jangan terlalu rumit sampai jadi pura-pura.
Pada hari pernikahan itu, saya dan istri saya menjabat tangan yang hadir. Mereka sangat ingin berjabat tangan, dan hari itu kami berjabat tangan dengan 1.200 orang. Ketika pulang semua sakit, tangan sakit, tulang sakit, kulit lecet. Saya baru sadar, menikah harus dihukum seperti ini. Linu dan sakitnya sampai malam belum selesai juga, bahkan sampai besoknya tangan saya masih sakit. Maka, kita melihat bahwa filsafat Tionghoa memiliki dua fungsi: 1) hemat waktu dan 2) tidak berbahaya. Ketika kita berjabat tangan, terjadi sentuhan dengan segala orang, yang mungkin sekali terkontaminasi penyakit menular. John Sung tidak pernah mau jabat tangan dengan siapa pun. Kalau berjalan, tangannya dilipat di belakang. Sebelumnya dia mau berjabat tangan dengan orang-orang yang menyalaminya, tetapi sejak 1939, ia tidak lagi mau menyalami orang lain. Ternyata itu akibat satu kali seorang wanita bersalaman dengan dia, lalu tidak mau cuci tangan hingga enam bulan lamanya. Itu karena kuasanya John Sung masih menempel di tangan itu, lalu orang itu menyentuh orang sakit jadi sembuh, lalu makin mengultuskan John Sung. Sampai satu kali terjadi hujan deras dan “kuasa” di tangan wanita itu ikut tercuci dan sejak saat itu ia mencuci tangan. Maka sesudah saat itu, John Sung tidak mau lagi berjabat tangan dengan siapa pun.
Keenam, musik. Tata krama itu terjadi dalam hubungan pribadi dengan pribadi. Tetapi secara seluruh masyarakat, kebudayaan diutarakan dengan musik. Jadi musik itu penting bagi Konfusius. Orang-orang penting, seperti Plato, Martin Luther, Konfusius, Albert Schweitzer, mengatakan bahwa musik itu penting. Alkitab mengatakan, “Pujilah Dia,” sehingga agama Kristen menjadi agama musik. Musik-musik yang indah muncul begitu banyak bukan di agama Islam atau Buddha, tetapi di dalam agama Kristen. Kekristenanlah yang merupakan agama yang memberikan pengharapan kepada kekekalan. Hal ini menyebabkan orang Kristen penuh dengan pengharapan dan pujian yang membuat adanya banyak nyanyian. Musik adalah menikmati kekekalan di dalam kesementaraan yang memakai waktu, melintasi waktu, dan melupakan waktu sambil menggeser waktu. Ini adalah pikiran filosofis yang mendalam sekali. Itu terjadi ketika kita menyembah Yang Kekal dengan musik.
Ketika kita bermusik, kita sedang menikmati kekekalan. Ini suatu hal yang merupakan kompensasi kekekalan di dalam dunia. Jadi Konfusius berkata tentang musik, namun musiknya adalah musik yang lain dengan musik yang kita gunakan untuk beribadah. Musik di dalam pemikiran Konfusianisme adalah berfungsi untuk tata krama di dalam menghibur orang lain. Jadi, engkau melihat suatu musik yang digubah dengan semangat yang tertentu akan menghasilkan suatu mutu tertentu. Saya pernah menyalakan televisi dan mendengar satu lagu nasional yang sangat menggugah hati. Saya sangat tertarik. Musik itu tidak ada yang lucu-lucu, tetapi sangat enak didengar, begitu agung, penuh kehormatan dan semangat perjuangan. Hal seperti ini tidak bisa ditiru atau diulang. Tidak bisa sembarangan dibuat, karena itu hasil dari suatu rangsangan semangat patriotisme, semangat yang mengakibatkan seseorang mencurahkan seluruh jiwa, seluruh kekuatan, untuk menggabungkan si aku yang kecil ini dengan nasib seluruh bangsa menjadi satu kesatuan. Hanya dengan semangat seperti ini, musik seperti itu bisa dihasilkan.
Di dalam penilaian saya, lagu kebangsaan yang terbaik di dunia ada tiga, yaitu yang pertama adalah lagu kebangsaan Prancis, lalu kedua Amerika Serikat, dan ketiga Indonesia. Ada beberapa lagu kebangsaan lain yang terlihat gagah, tetapi tidak ada nilai lainnya. Ada juga lagu kebangsaan yang bagi saya cukup gagah, tetapi dingin. Di dalam lagu “Indonesia Raya”, ada beberapa alunan nada dan kata yang begitu agung, tetapi juga sangat menyentuh hati. Ketika seseorang bisa dengan teliti menganalisis lagu-lagu yang indah, lalu menyanyi setiap hari, engkau akan menjadi orang yang berbeda, dan engkau mulai bisa menikmati dunia ini. Lagu kebangsaan Prancis, “La Marseillaise”, ketika tentara Prancis yang sudah kalah perang menyanyikan lagu ini, bangkit lagi semangat mereka dan mereka akhirnya mampu memenangkan peperangan dan menghancurkan musuhnya. Ini adalah aspek yang keenam, yaitu musik.
Konfusius mementingkan musik. Ini satu kemanusiaan. Orang yang tidak mengerti musik tidak mempunyai kemanusiaan yang sungguh-sungguh. Musik melatih watak sampai kematangan, keharmonisan dengan orang lain. Ini adalah kalimat dari Plato. Plato mengatakan, “Setiap orang silakan menyanyi berbeda-beda satu dari yang lain, tetapi bagaimanapun suara keras jangan lupa, jangan melanggar hukum harmoni.” Musik memiliki harmoni.
Ketujuh, yi – keadilan. Keadilan (Yun.: dikaiosune – righteousness) adalah sikap yang fair, harus adil di dalam memperlakukan orang. Kita tidak bisa baik untuk diri atau kelompok kita sendiri, sementara kita bertindak yang buruk atau tidak baik untuk orang atau kelompok lain. Kita juga tidak bisa merebut keuntungan bagi diri kita sendiri sementara mendatangkan kerugian bagi orang lain. Atau ketika ada keuntungan kita maju di paling depan, kalau ada kerugian kita mundur ke tempat paling belakang. Ini semua adalah ketidakadilan. Kita harus memiliki keadilan antarmanusia. Barang siapa yang tidak menjalankan dan tidak mementingkan prinsip yang ketujuh ini, disebut xiaoren (orang kecil atau orang yang hina). Sesudah semua ini baru memikirkan bagaimana memberi keuntungan kepada semua, yi, bukan mencari keuntungan untuk diri sendiri.
Kedelapan, ren – kemanusiaan. Inilah totalitas dan sekaligus klimaks dari kedelapan pengertian tentang kehidupan dan kemanusiaan. Inilah ren itu sendiri. Di dalamnya ada lovingkindness, benevolence, gentleness. Gabungan seluruh delapan aspek ini, semua tergabung ke dalam ren. Di dalam The Analects dari Konfusius, istilah ren ini muncul lebih dari 40 kali. Inti dari ren adalah bagaimana mencintai sesama, karena itu adalah kemanusiaan. Jadi seorang yang ren adalah orang yang berperikemanusiaan. Amin.