Sesi ini adalah sesi tanya jawab.
Pertanyaan: Apakah Konfusius bisa silat?
Saya percaya Konfusius belajar silat. Konfusius adalah orang yang ingin mempelajari banyak hal dan memiliki banyak kemampuan, apalagi kemampuan-kemampuan utama yang dianggap penting saat itu. Sebagai seorang yang harus keluar masuk memberikan nasihat kepada raja-raja dan juga memberikan strategi militer dan politik, saya percaya dia sendiri juga harus menguasai hal itu. Namun, sampai berapa dalam dan berapa hebat dia menguasainya, saya tidak mengetahuinya. Tidak ada catatan yang terlalu jelas tentang hal ini. Menurut suatu legenda, Konfusius memiliki tubuh yang sangat kekar dan luar biasa kuatnya. Dia selalu mengajak murid-muridnya pergi ke berbagai tempat berjalan kaki, dan juga mengajar di berbagai tempat dengan pergi berjalan kaki. Pasti dia seorang yang sehat sekali.
Pertanyaan: Jika orang Tionghoa tidak pernah imperialis, bagaimana dengan kasus Tibet?
Di Tibet pernah ada seorang raja bernama Songtsen Gampo yang menikah dengan putri Wen Chen dari dinasti Tang dan dia menyerahkan seluruhnya kepada Tiongkok. Tibet tidak pernah menjadi satu negara yang memiliki militer sendiri sebagai satu negara merdeka. Tibet adalah satu daerah pegunungan yang merupakan daerah agama, dan karena ikatan pernikahan, kemudian menjadi bagian dari Tiongkok. Sebenarnya dari dahulu tidak pernah terjadi keributan antara Tiongkok dan Tibet. Sampai waktu zaman komunisme, terjadi perbedaan pendapat yang makin lama makin hebat, lalu Tiongkok mengirim militer dan memaksa Tibet untuk tunduk. Ketika dipaksa, mereka mau memberontak untuk menjadi negara merdeka dan menjadi negara hanya berdasarkan agama. Sebenarnya secara politik, Tibet tidak memiliki militer khusus untuk menjadi negara yang merdeka.
Pertanyaan: Wen adalah sastra dan tata krama; Wu adalah senjata dan kekuasaan untuk membela diri (militer). Apakah itu berarti orang bisa halus bisa kasar? Bisa budaya bisa militer?
Kebanyakan orang militer tidak sekolah tinggi dan tidak memiliki kemampuan sastra yang baik; sementara orang yang sekolah tinggi dan belajar sastra, tidak berani berperang. Jadi tidak tentu seseorang yang memiliki jabatan, kuasa, atau kemampuan militer yang tinggi berarti juga memiliki kemampuan kebudayaan, sastra, dan filsafat yang tinggi.
Pertanyaan: Apakah bahasa tertentu menjadi bahasa internasional karena keindahannya?
Jangan kita salah mengerti. Suatu bahasa bisa menjadi bahasa internasional atau tidak sangat bergantung kepada kejayaan politik dan militernya. Tidak ada orang Asia yang akan belajar bahasa Inggris kalau Britania Raya belum pernah menjajah wilayah yang begitu besar di dunia. Inggris menjajah seluruh India, Srilangka, Birma, juga menjajah Palestina, Mesir, dan sampai Australia, Selandia Baru. Inggris juga menjajah Kanada dan Newfoundland. Semua tempat bekas jajahan Inggris ini berbahasa Inggris, sehingga bahasa Inggris menjadi bahasa percakapan merata di seluruh dunia. Akhirnya, karena kekuatan Inggris, maka bahasa Inggris bisa menjadi bahasa dunia; bukan karena bahasa Inggris begitu indah sehingga orang mempelajarinya. Bahasa Latin lebih rumit dan lebih komplit dari bahasa Inggris. Bahasa Jerman adalah sumber dari bahasa Inggris, tetapi karena bahasanya begitu rumit, orang sulit mempelajarinya. Bahasa Indonesia jauh lebih indah dari bahasa Inggris. Saya sendiri menghormati bahasa Indonesia, karena bagi saya yang suka seni, untuk menyanyi paling baik bahasa Indonesia, juga untuk pernapasan bahasa Indonesia cukup ringan, dan kekuatan pembuangan energi yang paling sedikit. Selain bahasa Latin, bahasa Indonesia terbaik di dunia. Saya tidak mengada-ada.
Saya sudah pergi ke berbagai tempat di dunia, ke Rusia, Jerman, Amerika Latin, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Jepang, China, Taiwan, Thailand. Jika kita mengatakan bahasa Indonesia: teori evolusi, terdiri dari 7 suku kata, demikian juga bahasa Inggris, dan di dalam bahasa Tionghoa hanya 3 suku kata, dan dalam bahasa Thailand 13 suku kata. Maka di Thailand, kalau saya bicara satu kalimat, penerjemah saya akan merasa saya berkata terlalu panjang, karena ia harus menerjemahkan panjang sekali. Dia selalu tidak dapat mengejar kalimat-kalimat saya.
Orang yang bahasanya panjang, pikirannya lambat. Saya percaya pikiran saya lebih cepat daripada banyak orang Indonesia, termasuk orang Inggris. Jadi jika ada orang berbicara dan saya masih mau mendengar apa yang kamu bicarakan, itu kesabaran luar biasa. Banyak yang engkau belum pikirkan, belum bicarakan, sudah saya pikirkan semua. Tetapi sebagai manusia tata krama, menurut Konfusius, maka harus ada cinta kasih, saya harus menunggu kamu mau bicara apa. Saya sudah bisa menebak engkau mau bicara apa. Akibatnya saya tidak bisa menulis sendiri pikiran itu. Saya baru menulis satu kalimat, pikiran saya sudah jalan ke kalimat kesepuluh, dan akhirnya kalimat pertama saya tidak bisa beres-beres. Terkadang mau menulis satu bagian saja sudah sepuluh kali merobek tulisan dan belum mendapatkan satu alinea pun. Satu-satunya kali, setelah saya mulai agak tua, makalah yang satu kali tulis dan tidak diubah lagi dari awal hingga akhir adalah Deklarasi Institute Reformed. Terjemahan bahasa Inggrisnya saya kurang puas. Ada seorang yang sangat pandai keturunan Tionghoa, kepala provinsi komunisme di Sichuan, anaknya yang menerjemahkan itu, tetapi saya masih kurang puas.
Saya menyusun deklarasi itu kalimat demi kalimat, langsung tulis dan langsung jadi. Itu saya kerjakan di pesawat terbang dari Jakarta ke New York. Dalam beberapa jam saya menulis itu, lalu saya kirim faks kepada Pdt. Dr. Philip Teng. Dia melihat dan menelepon, mengatakan, “This is a masterpiece for our time (satu mahakarya untuk zaman kita).” Makalah ini tidak dikoreksi satu kalimat pun, terus mengenai menganalisis abad ke-20 dan menuju abad ke-21. Ketika saya masih muda sekali, di sekolah karya komposisi musik saya selalu tertinggi di seluruh sekolah. Pernah dalam dua jam saya tidak berhenti menulis sembilan halaman melawan evolusionisme dari sudut pandang Kristen. Tetapi karena menggunakan pendekatan Kristen, guru saya yang komunis marah luar biasa. Dia mengatakan, “Kamu berani memakai iman agama imperialisme, agama Kristen, untuk melawan kebenaran evolusi?” Lalu saya diberi nilai 62. Dia tidak tahu kalau saya beri nilai dia 26. Siapa yang di usia remaja bisa dalam dua jam menulis sembilan halaman argumen yang begitu kuat melawan evolusionisme? Sesudah kejadian ini, nilai saya tidak pernah tinggi lagi. Saya tetap memuji Tuhan karena saya sedang mengumpulkan nilai di sorga. Sesudah saat itu, dia tidak lagi baik sama saya karena dia tahu saya Kristen. Itu sekolah komunis, saya dilatih dengan pikiran komunisme, tetapi akhirnya saya dikembalikan dengan kritik Teologi Reformed untuk melihat bahwa semua filsafat dan semua pikiran manusia ternyata kosong belaka. Hanya firman Tuhan yang paling kuat.
Pertanyaan: Bagaimana menyikapi tata krama yang justru menyebabkan kekacauan?
Tata krama yang tidak tertib itu namanya tata tak tertib.
Pertanyaan: Apakah komunisme menerima konfusianisme? Dan bagaimana dengan orang-orang Tionghoa perantauan?
Komunisme tidak menerima konfusianisme. Komunisme pernah membangkitkan satu gairah untuk menghancurkan konfusianisme. Pada sekitar tahun 1966-1967, terjadi Revolusi Kebudayaan di Tiongkok (Cultural Revolution). Salah satu orang yang paling dianggap tidak sejalan dengan pikiran Mao Zedong adalah Zhou Enlai. Mereka menyebut Zhou Enlai sebagai Gong. Saat itu Lin Biao menyerang Zhou Enlai. Mereka mengatakan, “Hancurkan konfusianisme.” Yang dimaksud adalah hancurkan Zhou Enlai. Jadi konfusianisme dan komunisme sama sekali berbeda. Konfusianisme mementingkan suatu tata tertib kekeluargaan, konfusianisme sangat mementingkan dan menghormati orang tua. Tetapi komunisme sama sekali tidak.
Bagaimana dengan orang Tionghoa perantauan? Orang Tionghoa perantauan adalah secara darah mereka konfusianis, tetapi secara otak mereka adalah budak uang (money-ism). Orang-orang perantauan ini maunya uang, bukan mau konfusianisme. Secara darah mereka dilahirkan dalam suatu takhayul bahwa mereka berasal dari tradisi orang-orang konfusianisme, tetapi secara hati mereka sama sekali tidak mengetahui konfusianisme. Orang-orang perantauan terkadang memiliki kesetiaan kepada semacam kebudayaan tradisional, lebih dari mereka yang hanya mempelajari konfusianisme secara akademis. Sama seperti orang Kristen yang takut kepada Tuhan tetapi tidak belajar teologi, terkadang lebih dekat Tuhan daripada mereka yang belajar teologi tetapi main-main.
Satu kali saya bertemu dengan seorang India yang bertanya kepada saya. Dia bertanya apa agama saya. Ketika itu saya baru berusia 20 tahun lebih. Saya jawab, “Kristen.” Saya tanya kembali, “Anda?” Dia mengatakan, “Hindu, Hindunesia, Hinduchina, Hindu Ocean. Hindu.” Dia begitu membanggakan agamanya. Lalu dia bertanya apa pekerjaan saya, dan saya jawab, “Penginjil.” Dia merespons, “Oh, pengkhotbah ya. Saya mau bertanya, siapa yang lebih dekat Tuhan, yang berkhotbah atau yang mendengar khotbah?” Saya lumayan terkejut, karena di sekolah teologi tidak pernah diajar menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Saya jawab, “Tergantung.” Dia kejar, “Tergantung apa? Apakah tergantung dia betul-betul sungguh-sungguh berkhotbah atau sungguh-sungguh mendengar? Tidak tentu demikian, bukan?” Saya tidak mau terjebak. Dia kemudian mengatakan, “Menurut saya, yang mendengar lebih dekat Tuhan ketimbang yang berkhotbah.” Saya sanggah, “Kok bisa?” Dia bilang, “Yang khotbah mungkin ke mana-mana mengkhotbahkan yang sama, dan sesudah berkhotbah dapat uang. Tetapi yang mendengar itu membayar uang, naik kendaraan datang untuk mendengar, itu sebabnya dia lebih dekat Tuhan.” Wah teori yang hebat. Jadi saya kira kalimat dia ada benarnya, bahwa ada kemungkinan banyak orang Kristen biasa yang tidak mengerti teologi tetapi betul-betul cinta Tuhan, daripada mereka yang mempermainkan teologi hanya karena pernah belajar secara akademis.
Itu sebabnya orang yang belajar konfusianisme di sini mungkin sudah mengerti lebih banyak teori konfusianisme. Tetapi ada mereka yang tidak belajar tetapi merasa dirinya adalah keturunan Konfusius secara darah. Dengan tidak sadar, mereka lebih dekat dengan konfusianisme secara tradisi. Secara pengetahuan akademis, mungkin engkau lebih dekat.
Pertanyaan: Mengapa orang Tionghoa tidak pernah bisa bercampur dengan masyarakat sekitarnya, tetapi kalau di Jawa mungkin ada perkecualian?
Saya harus menghormati orang Jawa Tengah. Saya kira orang-orang Jawa Tengah memiliki kebudayaan yang tidak kalah dari konsep ideal konfusianis. Mungkin secara fakta bahkan lebih tinggi. Orang Jawa Tengah betul-betul berkebudayaan tinggi, dan itu saya hormati. Orang Kalimantan belajar bahasa Khe, orang Medan belajar bahasa Hokkian, orang India belajar bahasa Guo Yi. Hanya di Jawa Tengah, orang Tionghoa belajar bahasa Jawa. Ini terbalik. Hal ini karena kebudayaan Jawa Tengah yang sangat tinggi. Orang Jawa Tengah itu sangat sabar. Jika kakimu menginjak kakinya, dia tidak marah, dan hanya berkata, “Tuan, kaki Anda ada di atas kaki saya.” “Maaf ya.” “Tidak apa-apa, Tuan.” Kebudayaan seperti ini bagaimana bisa tidak memengaruhi konfusianisme? Jadi orang keturunan Konfusius kalau sudah sampai di Jawa Tengah, menjadi keturunan Ken Arok. Orang Jawa Tengah banyak memakai sarung. Kalau di luar pulau Jawa banyak orang Tionghoa masih bisa bahasa Tionghoa, di Jawa Tengah semua orang Tionghoa mengerti bahasa Jawa. Itu karena pengaruh Jawa yang sedemikian besar. Amin.
