KONSEP PENDIDIKAN KONFUSIANISME
Sekarang kita masuk ke dalam teori pendidikan konfusianisme. Saya merasa teori pendidikan konfusianisme ini memengaruhi pemikiran saya. Pada dasarnya, Konfusius percaya bahwa orang a) harus jujur dan b) harus belajar dari sejarah. Kita harus belajar dari kebijaksanaan orang kuno. Jangan membuang apa yang telah menjadi kristalisasi pengalaman orang kuno. Barang siapa yang tidak menghargai orang tua yang berbijaksana, orang itu pasti adalah orang yang tidak berbijaksana, bodoh dia.
1) Pendidikan Kristalisasi Sejarah
Orang mengalami berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus tahun pengalaman, yang mengkristalkan sesuatu yang sangat bernilai di dalam pendidikan kepada sejarah. Jika hal seperti ini kita abaikan dan tolak, maka kita menjadi orang bodoh. Jadi pendidikan dimulai dari diri sendiri yang mau jujur, sungguh-sungguh ikhlas mencari kebenaran. Dan kedua, mau baik-baik belajar dari sejarah atau orang kuno. Sebagaimana kita ketahui, sejarah berulang karena manusia tidak mau pengajaran dari sejarah. Ketika orang tua berkata sesuatu, sering kali anak muda berkata, “Ah itu sudah kuno, tidak cocok untuk saya yang hidup di abad 21. Itu urusan abad 20.” Tetapi nanti setelah orang tuanya meninggal, dan dia sudah menjadi tua, akhirnya dia mengakui bahwa yang dikatakan orang tuanya itu benar. Dan sekarang kembali dia dianggap kuno oleh anaknya. Anaknya tidak mau menerima apa yang dikatakannya, dan ia menjadi kecewa sampai mati. Dan anaknya nanti mengalami dan mengulangi lagi hal yang sama.
Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa manusia tidak suka belajar dari sejarah. Itu suatu kebodohan. Sudah tahu bahwa Israel begitu kuat kemampuan perangnya, orang Arab masih beberapa kali berusaha untuk menghancurkan dia, berusaha mengeluarkannya dari tanah Palestina, tetapi bagaimanapun Israel tetap menang. Jadi mereka percaya apa yang dipelajari dari nenek moyang mereka itu betul-betul bermanfaat, sangat berguna bagi mereka di dalam zaman yang paling modern sekalipun. Sekalipun mereka sudah memiliki senjata-senjata paling mutakhir, yang paling modern, tetapi teknik dan cara mereka tetap belajar dari para orang kuno.
2) Pendidikan Takut Mandat Sorga
Bukan saja demikian, konsep pendidikan yang lain dari Konfusius yaitu, setiap orang yang agung yang disebut gentleman, haruslah seorang yang takut kepada mandat sorga. Kita tidak boleh mengerjakan segala sesuatu berdasarkan kebebasanku, atau kebutuhan orang lain, atau arus zaman sekarang. Apa yang menjadi motivasi seseorang mengerjakan sesuatu atau bertindak adalah hal yang penting dimengerti dan diperhatikan.
Hal pertama yang dipikirkan dan menjadi motivasi utama kita bertindak haruslah apakah itu mandat sorgawi atau bukan. Ketakutan apakah kita sedang menjalankan kehendak Tuhan atau melawan kehendak Tuhan; hal yang kita lakukan berkenan kepada Allah atau tidak; apakah ini sesuai dengan dalil sorga atau tidak, adalah hal-hal yang harus dipikirkan pertama kali. Tianming (天命) atau Mandat Sorga adalah hal utama dan pertama yang harus memotivasi seluruh tindakan kita. Itu berada di dalam hati nurani manusia. Dia bersuara sehingga terjadi suatu hubungan kontak antara apa yang kita rasakan sedalam-dalamnya dan apa yang diberikan sebagai dalil di dalam alam semesta. Oleh karena itu, yang pertama, seseorang harus tenang dan jangan banyak bicara. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Pengkhotbah 3:7. Allah di sorga, manusia di bumi, jangan banyak bicara. Saya percaya kita perlu belajar diam, lalu mendengar suatu suara alam semesta yang terpendam di dalam hati nurani. Orang yang terus berbicara tidak akan pernah belajar kebenaran, karena dia pikir dia sudah menjadi kebenaran dan dia yang harus mengajar orang lain. Silakan janji kepada diri sendiri untuk lima hari tidak berbicara, kecuali sangat penting baru ucapkan satu kalimat. Maka dengan demikian engkau akan mulai maju. Engkau akan mulai maju di dalam hal serius untuk menanggapi segala sesuatu.
Kedua, memiliki perasaan kagum dan hormat kepada mereka yang besar dan agung. Perhatikan dan kagum kepada orang-orang yang memiliki bukan hanya kedudukan atau keberhasilan yang besar, atau memiliki sumbangsih atau pengaruh yang besar, tetapi juga mereka yang agung. Kiranya kita bisa memiliki perasaan takut kepada mereka.
Ketiga, memiliki keengganan terhadap semua perkataan orang saleh. Orang-orang yang hidup suci, yang bermoral tinggi, orang-orang yang memiliki pengaruh moral di dalam sejarah, pikirkan apa yang mereka pernah katakan, hayati, renungkan, dan dalami. Sayangilah kalimat-kalimat orang besar seperti menyayangi mutiara, kagumlah terhadap kalimat-kalimat itu. Cintailah teori-teori yang betul-betul bermutu seperti mencintai berlian.
Banyak orang pada masa kini yang berbeda dan berpikir sama sekali terbalik. Ketika melihat berlian, maka kebenaran dibuang; ketika melihat mutiara, maka moral dibuang. Tuhan Yesus mengatakan di dalam perumpamaan-Nya, bahwa orang bijaksana adalah orang yang rela menjual apa pun ketika ia menemukan mutiara, itu bagaikan orang yang menemukan Kerajaan Sorga. Orang yang menemukan Kerajaan Sorga bagaikan orang yang menemukan mutiara yang sangat berharga.
Kita perlu mengetahui, takut, dan kagum terhadap mandat sorga. Kagum kepada orang-orang yang agung, kagum kepada kalimat-kalimat orang saleh. Jika engkau menerima baik-baik perkataan-perkataan yang penting ini, walaupun mungkin hanya sepuluh kalimat saja, sudah cukup untuk membuat seumur hidupmu berubah. Saya mengetahui ada beberapa orang tua yang tidak berpendidikan tinggi, tetapi pernah mendengar satu dua kalimat Konfusius, kemudian memegangnya baik-baik, seumur hidup menjadikan kalimat-kalimat itu pedoman hidupnya, maka hidupnya menjadi beres. Hanya sayang ia belum menjadi Kristen.
Saya percaya banyak orang yang hidupnya biadab, tidak karuan, kurang ajar, dan menjadi bajingan karena mereka tidak memiliki kalimat-kalimat yang dapat menjadi pedoman untuk menjaga kebebasan mereka. Pendidikan Konfusius adalah semacam sistem filsafat yang penuh dengan pemikiran yang tinggi dan metodologi yang baik.
3) Pendidikan Tidak Mengenal Diskriminasi
Konfusius juga mengatakan bahwa di dalam pendidikan tidak ada diskriminasi. Kalimat ini sangat penting di dalam sejarah Tiongkok. Tiongkok berbeda dari India karena di India manusia secara mendasar dibedakan dan dibagi menjadi empat lapisan. Lapisan yang paling tinggi adalah brahma dan lapisan yang paling rendah adalah sudra. Negara yang dibagi dengan lapisan masyarakat seperti ini sangat sulit maju. Jika engkau berjalan di jalan lalu terkena bayangan dari lapisan yang bawah, yang dianggap lapisan pengemis ini, maka hidupmu akan sial. Gandhi berjuang dan melakukan perubahan besar dengan mengubah India menjadi negara Asia yang paling demokrasi. Sementara, Konfusius memiliki kalimat-kalimat yang agung yang membawa masyarakat Tiongkok menjadi masyarakat yang mulia. Tetapi sayang pemikiran-pemikiran agung Konfusius ini kemudian dirusak oleh komunisme. Komunisme menganggap kaum proletar, yaitu masyarakat banyak itu yang paling tinggi. Lalu mereka tidak suka kepada penguasa, kepada pedagang yang dianggap orang berdosa besar. Pedagang atau kaum kapitalis dianggap orang egois yang mencari kekayaan sendiri. Maka perdagangan hanya boleh ada di tangan komunis, di tangan pemerintah pusat. Akhirnya korupsi terjadi justru pada pejabat dan atasan yang paling tinggi. Apa yang dikritik terhadap para pedagang kini terjadi pada diri sendiri. Pedagang dihancurkan sementara komunisme yang memegang teori ekonomi Karl Marx mengalami kebangkrutan total. Kini, Tiongkok sama sekali sudah balik arah.
Jika Konfusius mengatakan bahwa pendidikan tidak boleh ada diskriminasi, bagaimana dengan pendidikan terhadap orang yang bodoh? Konfusius mengatakan bahwa mereka tetap harus dididik. Orang pandai dididik, orang bodoh juga dididik. Bedanya kalau orang pandai cukup satu kali tetapi orang bodoh mungkin butuh sepuluh kali lebih panjang. Konfusius mengatakan tidak ada orang yang datang kepadanya membawa sedikit beras dan meminta menjadi muridnya yang ia tolak, tidak peduli dia kelihatan jelek, atau kurus, atau gemuk, atau terlalu tua. Siapa pun yang mau belajar pasti dia terima.
Prinsip pendidikan yang tidak diskriminatif ini memungkinkan ditemukannya orang genius dari kalangan orang miskin. Bentuk ujian, yaitu ujian yang dilakukan pemerintah, telah dimulai dari sejak 2.500 tahun yang lalu dan dijalankan dengan begitu ketat dan mencakup seluruh negara. Dari semua kampung dikirim hasil seleksi orang-orang yang terbaik, lalu diteruskan seleksi di kecamatan, lalu ke kota, terus sampai pada akhirnya sampai di ibu kota. Di Beijing, di istana Forbidden City (Kota Terlarang) di halaman yang luar biasa besarnya, ribuan orang dari semua provinsi mendapatkan ujian di ibu kota. Mereka diawasi dengan ketat luar biasa, tidak boleh menyontek. Akhirnya, mungkin sekali seorang anak yang paling miskin dari desa yang paling jauh, bisa menjadi seorang perdana menteri. Itu semua dimungkinkan karena pendidikan yang non-diskriminatif ini.
Kini zaman sudah berubah, 2.500 tahun kemudian kita dapat melihat ada sekolah untuk bangsawan, ada sekolah untuk orang miskin, berbagai macam model sekolah muncul, tetapi kita tetap melihat setiap orang diberikan kemungkinan untuk berpendidikan. Di dalam pendidikan, “lovingkindness” merupakan ide yang tertinggi. Orang yang memiliki lovingkindness dipandang sebagai karakter yang paling ideal, yaitu disebut ren (gentleman). Orang yang sudah mencapai dan memiliki lovingkindness, memiliki perikemanusiaan yang penuh dengan cinta kasih, disebut sebagai orang agung (gentleman). Setiap murid mempunyai kualitas intelektual yang berbeda, memiliki potensi yang berbeda. Setiap orang harus diajar dengan cara dan metode yang berbeda sesuai dengan kebutuhan pribadi. Ada yang perlu diperlakukan dengan lembut, ada yang perlu diperlakukan dengan keras. Ada orang yang perlu diperlakukan detail, ada orang yang hanya perlu diberi sedikit rangsangan sudah bisa berpikir sendiri.
Jadi kita tidak tahu bagaimana Konfusius mengajar atau membagi kelas, tetapi dia selalu berusaha untuk mengajar di mana pun. Setiap orang bertanya, dia menjawab. Konfusius begitu siap untuk memberikan jawaban untuk setiap pertanyaan, sehingga ia bisa memberikan kepada orang itu kebijaksanaan yang tepat pada saatnya untuk setiap pribadi yang berbeda, di setiap kasus. Siap setiap saat! Itulah Konfusius. Setiap saat siap dan bersedia untuk memberikan pedoman bagi setiap orang secara berbeda-beda. Banyak hamba Tuhan, ketika saya minta untuk memberikan acara tanya jawab, mereka kurang berani karena takut tidak bisa menjawab dengan tepat. Banyak pendeta hanya tahu berbicara apa yang dia mau bicarakan, dan tidak siap untuk mau mengerti kesulitan dan pertanyaan jemaat lalu mempersiapkan jawaban yang tepat untuk mereka.
Seorang pengajar harus mengetahui lebih daripada apa yang ia ajarkan, dan siap setiap saat menjawab setiap pertanyaan yang muncul kemudian. Itu sebab tidak mudah menjadi guru. Khotbah itu satu arah, tetapi mengajar bersifat dua arah. Mengajar berarti ada interaksi antara pengajar dan yang diajar.
Konfusius memiliki satu keyakinan bahwa setelah seseorang dididik, ia mungkin akan menjadi seorang agung (gentleman). Pikiran ini kemudian menjadi suatu keyakinan yang lama-kelamaan dimutlakkan menjadi kepercayaan. Setiap orang bisa menjadi yaoxuen. Kaisar yang baik menurunkan kedudukannya tidak kepada anaknya hanya karena ia anaknya, tetapi berdasarkan kompetensi dan kebijaksanaan seseorang. Ia memberikan kedudukan kepada yang paling pandai. Kalau anak sendiri kurang baik dan ada anak orang lain yang lebih baik, maka kedudukan sebaiknya diberikan kepada yang lebih baik, walaupun itu bukan anaknya.
Pemikiran yaoxuen adalah pemikiran pendidikan yang optimis. Setiap orang yang belajar itu mungkin menjadi gentleman. Konfusius beranggapan bahwa belajar dan berpikir adalah sama pentingnya. Kalau belajar tidak berpikir atau berpikir tanpa belajar, keduanya akan timpang dan tidak menjadi sukses. Belajar tanpa berpikir menjadi kosong belaka, sementara berpikir tanpa belajar adalah sia-sia.
Ilmu dalam bahasa Tionghoa disebut xuewen, yang berarti belajar dan bertanya. Orang yang belajar dan tidak bertanya tidak mendapatkan pengetahuan. Xue berarti belajar; wen berarti bertanya. Ketika engkau belajar engkau harus banyak bertanya. Bertanya adalah salah satu proses penting dalam belajar. Xuewen berarti ilmu. Di dalam bahasa Latin, ilmu berarti aku mengetahui (scio – science). Belajar dalam bahasa Tionghoa disebut xuexi. Xuexi berarti belajar sendiri, yang berarti belajar sambil mempraktikkannya. Belajar tanpa praktik bukan belajar. Maka xuewen bisa dilihat sebagai suatu interaksi, sementara xuexi adalah praktik dari pembelajaran. Jadi seseorang yang belajar adalah seseorang yang selalu mempraktikkan apa yang ia pelajari. Ia berusaha menjalankan apa yang ia dengar. Ia mencoba menerapkan apa yang ia pelajari, apakah itu benar atau tidak. Jadi setelah dipelajari, diterapkan, dijalankan, dipraktikkan, akhirnya terbukti benar atau tidak benar. Jadi kebenaran melalui mempraktikkan suatu teori, mengakibatkan pengertian akan menghubungkan dirimu dengan kebenaran itu.
Jadi ketika engkau belajar, engkau harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Ketika engkau berpikir, engkau harus berupaya mengerti sedalam-dalamnya. Kedua hal ini akan memperkuat apa yang engkau pelajari. Melakukan dengan sungguh-sungguh dengan segala tenaga dan usaha akan membuat engkau mengerti lebih mendalam lagi. Anak yang baru belajar tentang Tuhan mencintai manusia karena baru diajar oleh guru Sekolah Minggunya, akan berbeda dengan seseorang yang sudah melewati peperangan, terkena bom, hampir patah kaki, akhirnya tetap tidak putus asa karena dia mengalami cinta Tuhan kepada manusia. Ketika dia berkata, “Tuhan mencintai manusia,” itu sangat berbeda pengertiannya, dengan seorang anak Sekolah Minggu yang baru mendapat cerita tentang Tuhan mencintai manusia. Yang satu hanya tahu, sementara yang lain sudah mengalami sepenuhnya cinta Tuhan itu. Amin.