Krisis Keuangan – Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
Abad ke-20 merupakan salah satu abad yang paling paradoks. Inilah abad di mana perkembangan ekonomi, teknologi, politik, dan sistem masyarakat sepertinya mencapai puncaknya. Dalam seratus tahun terakhir, kita melihat perkembangan dan pencapaian umat manusia yang hampir tak terhitung banyaknya – dari terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), modernisasi sektor perbankan dan keuangan, peningkatan popularitas produksi massal, sampai pada tersedianya maskapai komersial dan penemuan internet yang mungkin tidak terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Perkembangan dan pencapaian ini membuat ekonomi dunia bertumbuh sangat pesat. Majalah The Economist bahkan memperkirakan total economic output yang dihasilkan umat manusia di abad ke-20 mencapai 2,5 kali total economic output yang dihasilkan dari abad pertama sampai abad ke-19(1). Gerakan globalisasi juga turut mendukung konektivitas dan spesialisasi, sehingga memungkinkan hubungan kerja sama antarnegara yang saling menguntungkan. Semua ini memberikan kekayaan, kemakmuran, dan kekuasaan kepada manusia yang jauh melampaui abad-abad sebelumnya.
Di sisi lain, abad ke-20 juga adalah abad di mana manusia mengalami banyak kemunduran, baik secara moral, cinta kasih, maupun kerohanian. Inilah abad di mana manusia menyaksikan dua perang dunia yang besar terjadi sebelum paruh pertama abad ini dilewati, suatu intensitas permusuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam bidang ekonomi, berbagai sistem dan kebijakan dibuat untuk menguntungkan kelompok-kelompok yang berkuasa, sering kali tanpa disadari masyarakat secara luas. Selain itu, pelaku-pelaku ekonomi menjadi semakin “kreatif” dan serakah untuk mengejar profit dan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan risiko dan etika. Pertumbuhan ekonomi yang terlalu pesat ini menyebabkan bertambahnya risiko krisis keuangan dalam siklus ekonomi yang semakin pendek. Seperti kata Pdt. Dr. Stephen Tong, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan selalu mengandung potensi bahaya di dalamnya. Ketika ekonomi lokal semakin terkait dan tergantung satu dengan yang lain melalui globalisasi dan perdagangan internasional, dampak krisis keuangan yang berpotensi ditimbulkan juga semakin luas dan kompleks. Tidak mengherankan jika krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008 bukan hanya membawa dampak ekonomi tetapi juga dampak sosial, bukan hanya berdampak pada satu bangsa atau benua melainkan berdampak secara global.
Krisis keuangan ini didahului oleh sebuah periode pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis(2), walaupun tidak diikuti dengan distribusi pendapatan yang merata[1]. Hal ini secara alami meyebabkan peningkatan kelebihan dana yang tersedia untuk diinvestasikan pada pasar modal dari USD 36 triliun di tahun 2000 menjadi USD 80 triliun di tahun 2007(3). Dari hari ke hari, dana-dana yang dikelola perusahaan investasi ini terus-menerus haus untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi dari apa yang diberikan US Treasury Bonds and Bills, yang dianggap sebagai acuan investasi risk-free. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang demikian pesat membuat pemerintah dan pembuat kebijakan ekonomi menjadi puas diri dan mulai mengurangi peraturan-peraturan yang dinilai dapat membatasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi di tengah maraknya inovasi produk investasi yang semakin “kreatif” dan – terkadang terlalu – berani oleh bank-bank investasi dunia, yang berlomba untuk meraup profit sebanyak mungkin di tengah situasi ini. Di waktu yang sama, lembaga penilai kredit, yang seharusnya independen dan menjadi acuan publik dalam memberikan penilaian tentang risiko produk investasi, menghadapi konflik kepentingan antara profit dan independensi[2]. Dalam latar belakang ini, pinjaman – khususnya untuk perumahan – ditawarkan dengan begitu mudah kepada orang-orang yang sebenarnya tidak layak menerima pinjaman karena mereka semua percaya bahwa harga perumahan tidak pernah mungkin akan turun, jadi peminjam akan selalu bisa menjual rumahnya dengan harga yang lebih tinggi dan membayar semua pinjaman jika diperlukan. Pinjaman-pinjaman ini kemudian dijual, dipaket menjadi produk investasi yang kompleks, diberikan rating yang tinggi dan profit yang menarik untuk memuaskan keserakahan penanam modal. Setelah berhasil diluncurkan, produk ini menjadi populer karena naturnya yang win-win dan mulai diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Bisa ditebak, boom!!, dalam waktu yang singkat produk ini telah disebarkan di seluruh dunia dan menyebabkan asset bubble, yang membuat orang makin percaya akan kepalsuan bahwa produk tersebut tidak berisiko. Kepercayaan yang salah kepada fundamen yang kosong ini merupakan bom waktu yang pada akhirnya meledak dan menyebabkan salah satu krisis keuangan global yang terbesar dalam sejarah.
Krisis yang Terbesar
Ini menunjukkan betapa hebat dan kuat sistem ekonomi dan keuangan dunia tetapi tetap dapat tergoyahkan. Investor yang seharusnya puas dengan keuntungan investasi yang normal menjadi sulit dipuaskan, bankir yang seharusnya memprioritaskan kepentingan nasabah menjadi serakah dan egois, lembaga penilai kredit yang seharusnya memberikan penilaian yang dapat dipercaya telah berkompromi, dan pemerintah yang seharusnya menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi untuk masyarakat luas kehilangan arah dan menjadi puas diri. Hasilnya, kita melihat ratusan ribu bahkan jutaan manusia kehilangan pekerjaan, kehidupan yang layak, kesempatan memperoleh pendidikan, dana pensiun, bahkan banyak lagi kerugian non-materiil yang mungkin lebih penting.
Semua krisis yang kelihatan ini hanya merupakan satu puncak dari gunung es, yang di bawahnya terdapat masalah yang lebih besar dan mendasar. Keserakahan, cinta akan uang, egoisme, kepalsuan, hanyalah buah-buah yang kelihatan dari akar yang tidak kelihatan tetapi jauh lebih besar: kefasikan dan kuasa dosa. Berulang kali Alkitab memperingatkan manusia untuk takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan, itulah yang disebut bijaksana(4). Tetapi sejak kejatuhan di taman Eden, kecenderungan hati manusia menjadi jahat(5), sehingga manusia tidak mampu untuk lepas dari segala kejahatan dan membuat diri menjadi pusat segala sesuatu. Banyak analisis-analisis yang mengemukakan berbagai akar permasalahan dan penyebab krisis keuangan yang dahsyat ini, sebagian mempermasalahkan kebijakan ekonomi pemerintah yang terlalu longgar, sebagian berpendapat budaya bank-bank investasi di Wall Street yang terlampau berani mengambil risiko, sebagian lagi menunjuk pada keserakahan secara umum. Tetapi jika kita melihat dengan lebih jeli lagi, krisis yang terbesar yang telah berlangsung tanpa disadari dan akhirnya menyebabkan krisis keuangan yang relatif kecil ini adalah semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah(6). Krisis keuangan “hanya” menyebabkan kerugian material dan non-material dan hanya berlangsung beberapa tahun atau dekade, tetapi krisis kejatuhan dalam dosa menyebabkan manusia kehilangan akses terhadap Sumber Hidup dan akibatnya dirasakan sampai kepada kekekalan!
Tidak mengherankan jika pendulum kebijakan dan budaya ekonomi telah – dan akan terus – berayun dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain tetapi kita tetap – dan akan terus – menyaksikan peperangan, krisis keuangan, ketidakadilan, dan kejahatan di dunia ini. Mungkin cara dan fenomena akan berbeda – makin lama makin halus dan terselubung – tetapi spirit dan nilai yang sama akan terus menguasai dan berperan di balik layar. Kecuali dunia kembali takut dan beribadah kepada Tuhan, segala perbaikan regulasi ekonomi dan budaya etika yang mati-matian diperjuangkan oleh banyak pemerintah di berbagai negara hanyalah usaha tambal sulam semata[3].
Perspektif Iman Kristen
Mengenal Allah yang benar dan mengalami anugerah penebusan tidak membuat kita sebagai orang Kristen kebal terhadap efek krisis keuangan global. Tetapi pengenalan akan Allah yang berdaulat atas seluruh alam semesta dan sejarah umat manusia seharusnya menguatkan kita dan membuat kita memikirkan apa yang Tuhan mau ajarkan kepada kita dan bagaimana perspektif kita menghadapi krisis yang terjadi ini. Dalam perenungan ini, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita refleksikan dari krisis keuangan global yang terjadi beberapa tahun lalu:
a) Belajar menempatkan pengharapan kita kepada Allah yang sejati bukan pada materi yang sementara.
Kita sebagai orang Kristen sering kali setuju secara kognitif bahwa dunia dan segala keinginannya akan lenyap dan hanya orang yang melakukan kehendak Allah yang tetap selama-lamanya (7). Tetapi sebagai manusia yang bersalut daging dan darah, kita juga sering secara tidak sadar dan terselubung menaruh pengharapan dan sekuritas kita pada apa yang kelihatan seperti karier, penghasilan, kekayaan, gelar, atau hal-hal lain yang membuat kita merasa signifikan. Mungkin tidak ada orang yang mengetahui, bahkan kita sendiri pun tidak menyadarinya. Dalam khotbahnya, John Piper menggambarkan bahwa orang Kristen terkadang seperti segelas air jernih dengan endapan dosa yang tersembunyi di bagian bawah dari gelas itu. Dalam keadaan tenang gelas itu tampak sangat jernih tetapi pada waktu ada goncangan dan kesulitan, endapan dosa itu teraduk dan membuat air dalam gelas itu menjadi keruh. Melalui krisis dan resesi, dasar pengharapan kita yang sesungguhnya mulai terekspos. Maka inilah kesempatan untuk merefleksikan dan memutar kembali pengharapan kita kepada pengharapan yang sejati, yaitu pada Allah yang sejati.
b) Dunia ini memerlukan Juruselamat dan kita harus menyaksikan Tuhan di mana kita ditempatkan.
Tuhan memberikan dua mandat utama kepada umat manusia, yaitu mandat Injil dan mandat budaya. Sebelum kejatuhan, Tuhan telah memerintahkan manusia untuk memenuhi dan menaklukkan bumi dan setelah kejatuhan, Tuhan sendiri menjanjikan kemenangan atas benih ular(8). Dua mandat ini tidak saling bertentangan, melainkan saling mengukuhkan. Menerima Injil memampukan orang Kristen untuk meninggikan Kristus dalam melaksanakan mandat budaya di bidang mereka masing-masing. Sebaliknya, pengungkapan rasa syukur melalui mandat budaya menjadi salah satu alat dan pintu masuk memperkenalkan Injil kepada dunia. Di tengah kerusakan moral dan etika yang sering kali terlihat samar-samar, kehadiran etika dan moralitas Kristen diharapkan menjadi terang yang dapat memberikan arah dan garam yang dapat mencegah kerusakan. Kekristenan adalah satu-satunya iman yang dapat menunjukkan etika dan moralitas yang sejati karena orang Kristen telah menerima anugerah yang demikian besar dan mempunyai relasi yang dipulihkan dengan Allah yang sejati, Sang Pencipta dan Pemilik seluruh alam semesta. Kesadaran akan eksistensi di hadapan Allah (Coram Deo) akan membuat kita bertanggung jawab atas setiap talenta dan berintegritas. Kesadaran akan superioritas dari wahyu dan pengajaran Kitab Suci akan membuat kita teguh memegang prinsip kebenaran dan membuat dunia tertarik akan kebijaksanaan yang terkandung dalam iman kita. Krisis semacam ini seakan memberikan sorotan ekstra bagaimana etika dan moralitas Kristen berbeda dengan nilai-nilai dunia ini.
c) Lebih peka untuk saling berbagi dan menanggung beban, terutama dengan saudara seiman dan gereja Tuhan.
Kenyamanan dan kelancaran hidup sering kali mengurangi kesadaran dan kepekaan kita akan kesulitan yang dialami oleh orang lain. Mungkin ada orang-orang yang Tuhan percayakan di sekeliling kita yang membutuhkan uluran tangan kita tetapi sering kali kita kurang peka karena semua terlihat lancar dan baik secara fenomena. Maka, terkadang Tuhan memakai penderitaan dan kesulitan untuk membuat kita lebih bisa berbelaskasihan dan bersimpati pada orang lain. Berbagi dalam masa krisis bukanlah sesuatu yang mudah karena terkadang kita sendiri tidak kebal akan akibat krisis tersebut, tetapi Alkitab menegaskan bahwa apa yang kita lakukan untuk saudara-saudara kita yang memerlukan, kita juga melakukannya untuk Tuhan(9). Kiranya kasih Kristus mendorong kita untuk terus saling mengasihi sehingga dunia mengenal bahwa kita adalah murid-murid-Nya(10).
Kiranya setiap krisis dan berkat yang Tuhan izinkan dapat menjadi alat untuk menguduskan dan mempertumbuhkan umat-Nya dan nama Tuhan boleh dipermuliakan melalui semuanya itu. Soli Deo Gloria.
Hendry Lieviant
Pemuda GRII Singapura
Referensi:
1. economist.com (Retrieved 2015-03-01).
2. GDP Growth Worldbank Databank – diambil dari data.worldbank.org (Retrieved 2015-03-01).
3. “NPR – The Giant Pool of Money – May 2008”. http://thisamericanlife.org (Retrieved 2012-05-14).
4. Amsal 3:7; Amsal 14:16.
5. Kejadian 6:5.
6. Roma 3:23.
7. 1 Yohanes 2:17.
8. Kejadian 1:28; Kejadian 3:15.
9. Matius 25:40.
10. Yohanes 13:35.
Endnotes:
[1] Menurut Credit Suisse Reseach Institute, pada tahun 2014, lebih dari 85% kekayaan dunia dikuasai oleh kurang dari 9% populasi dunia.
[2] Lembaga penilai kredit terkemuka seperti Standard&Poor, Moody’s, dan Fitch mendapatkan pendapatan yang substansial dari emiten produk investasi dan cenderung memberikan rating yang tinggi dengan harapan mendapatkan lebih banyak permintaan rating di masa depan. Rating ini menjadi acuan publik dalam menilai risiko produk investasi dan akhirnya membuat banyak orang tertarik membeli produk-produk yang berisiko tinggi tetapi mendapat rating yang baik.
[3] Setelah krisis keuangan, pemerintah negara-negara menetapkan banyak regulasi ekonomi dan keuangan – seperti Basel, Dodd Frank, dan lain-lain – untuk secara intensif mengawasi, membatasi risiko, dan memastikan kesehatan finansial lembaga-lembaga yang dinilai penting bagi ekonomi negara atau dunia.