Introduksi & Konteks
Pertama-tama, saya agak tidak menyangka karena salah satu buku (dan dua esai) favorit saya perlu saya renungkan kembali dan tuangkan dalam bentuk tulisan. Buku yang saya maksud adalah buku “Perjuangan Menantang Zaman” yang merupakan kumpulan esai sebagai penghargaan kepada Pdt. Stephen Tong pada ulang tahun ke-60. Dua esai yang saya maksud berjudul “Politik dan Iman Kristen” oleh alm. Christianto Wibisono dan “Abad yang Bodoh” oleh Pdt. Stephen Tong. Ketika saya memerhatikan berbagai kondisi negara-negara di dunia dalam satu sampai dua tahun terakhir, saya sangat tergerak untuk menuliskan refleksi ini.
Tulisan ini bukan tanggapan reaktif terhadap berbagai pergolakan dan demonstrasi di Indonesia, terutama yang terjadi di bulan Agustus 2025. Saya sendiri pernah bekerja dan berkontribusi di berbagai instansi pemerintah (baik di level kementerian nasional maupun provinsi) dan lembaga internasional (ranah kemanusiaan, ekonomi, tata kota, teknologi, dan lingkungan). Sudah merupakan “makanan sehari-hari” bagi saya untuk mengamati berbagai kebijakan dan relasi antar negara. Berbagai fenomena seperti konflik (Rusia-Ukraina, Timur Tengah, Thailand-Kamboja), perang tarif perdagangan internasional, disrupsi kecerdasan buatan, pemberhentian kerja (lay-off) telah menjadi perhatian saya dalam 1-2 tahun terakhir. Untuk konteks Indonesia, saya pernah terlibat dan juga melakukan analisa mendalam seputar kebijakan prioritas seperti makan bergizi gratis, Danantara, dan koperasi merah putih.
Kehidupan Bermasyarakat
Dalam kehidupan masyarakat yang plural, pasti kita akan menghadapi berbagai dinamika dan kompleksitas. Faktor-faktor seperti status ekonomi, latar belakang pendidikan, ras, agama, gender, semua adalah elemen-elemen yang menjadi “bumbu-bumbu” dalam konteks masyarakat plural. Salah satu topik yang biasanya muncul adalah mengenai “kesenjangan” (inequality). Dalam esainya yang berjudul On Inequality, Herman Bavinck menuliskan:
“When considering the inequality in society, we therefore face the same problem we touched at the beginning of this chapter: what is the relationship of the one to many, the absolute to the relative, the eternal to what constantly changes, between the timeless principles and their application in changing circumstances?”
Ketika kita merenungkan pertanyaan dari Bavinck, mungkin ada sebagian kita yang merasa ada hal-hal yang lebih urgen untuk segera “diselesaikan”, seperti: bagaimana memastikan lapangan pekerjaan, bagaimana memastikan pertumbuhan ekonomi dan masuknya investasi, bagaimana bisa menjaga kestabilan masyarakat, bagaimana bisa memastikan pemerintah dapat bekerja dengan baik dan kompeten, bagaimana bisa menghentikan perang dan segera memulai gencatan senjata, bagaimana membuat kebijakan atau program yang lebih berpihak bagi rakyat banyak?
Pertanyaan-pertanyaan “praktis dan mendesak” tadi sangat valid dan wajar, apalagi ketika suatu negara atau masyarakat sedang menghadapi situasi genting dan mendesak seperti perang, bencana, transisi pemerintahan, maupun konflik sosial. Namun dalam perjalanan saya dalam mempelajari teologi publik, dan berusaha menerapkannya secara nyata dalam konteks sektor publik dan sosial, saya semakin menyadari betapa penting dan mendasarnya pertanyaan-pertanyaan refleksi yang diajukan oleh Bavinck. Sebenarnya apa yang bisa menyatukan masyarakat yang plural dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa (bayangkan konteks Bhineka Tunggal Ika di Indonesia, kesatuan berbagai States dalam konteks United States of America, atau kolaborasi berbagai negara dalam konteks Uni Eropa ataupun ASEAN)? Dalam konteks dinamika masyarakat dan konflik, apakah pijakan “absolut” yang dapat disepakati bersama? Apakah konstitusi, supremasi hukum, deklarasi pendirian negara, konsep ketuhanan, atau nilai kemanusiaan? Berbagai perenungan dan hasil penerapan dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Bavinck, akan menentukan berbagai keputusan, kebijakan, dan arah dari masyarakat & negara.
Ketika kita merenungkan pertanyaan dari Bavinck, mungkin ada sebagian kita yang merasa ada hal-hal yang lebih urgen untuk segera “diselesaikan”, seperti: bagaimana memastikan lapangan pekerjaan, bagaimana memastikan pertumbuhan ekonomi dan masuknya investasi, bagaimana bisa menjaga kestabilan masyarakat, bagaimana bisa memastikan pemerintah dapat bekerja dengan baik dan kompeten, bagaimana bisa menghentikan perang dan segera memulai gencatan senjata, bagaimana membuat kebijakan atau program yang lebih berpihak bagi rakyat banyak?
Buku Perjuangan Menantang Zaman
Kembali ke dua esai favorit saya dalam buku Perjuangan Menantang Zaman, saya sangat menghargai dan bisa memahami kegundahan alm. Christianto Wibisono dalam esainya yang berjudul “Politik dan Iman Kristen”. Dalam esai tersebut, alm. Wibisono dengan jujur mengaku tidak mampu memberikan resep praktis nan mujarab, namun beliau berharap agar kisah hidupnya dapat dijadikan pembelajaran dan studi kasus. alm. Wibisono menjelaskan naik turun dan suka duka perjuangannya dalam menghadapi rezim Orde Baru, tragedi 1998, sampai akhirnya melakukan “kontribusi jarak jauh” dari Amerika Serikat. Dengan jelas alm. Wibisono menyoroti akar masalah bangsa Indonesia, yakni kemunafikan dan egoisme. Dalam penjelasannya, bahkan beliau refleksi bahwa mungkin sebenarnya pimpinan elit Indonesia belum siap untuk merdeka. Dalam proses perjuangannya selama puluhan tahun, beliau dengan jujur mengatakan bahwa ia terkadang lelah, dan bahkan ingin berhenti menulis saja. Namun berbeda dengan Yunus yang lari dari Niniwe, alm. Wibisono masih terus mengharapkan dan mendoakan pertobatan Indonesia. Dalam bagian akhir esai, beliau menuliskan: “Kalau memang elit Indonesia berdosa terus, ya Tuhan akan menghukum. Soviet saja bisa bubar, apalagi Indonesia yang hutangnya ratusan miliar dan elitnya machiavelis, munafik, dan preman… Kadang-kadang darah Firaun harus dialirkan untuk pertobatan dan penebusan. Bahkan darah Tuhan Yesus justru dialirkan untuk menebus dosa manusia.”
Pdt. Stephen Tong memberikan analisa makro dan global dalam seminar mahasiswa di Yogyakarta dan Manado pada tahun 1994, yang kemudian ditranskrip menjadi esai dalam buku Perjuangan Menantang Zaman. Pdt. Stephen Tong merangkum bahwa abad ke-20 adalah abad yang bodoh. Kalimat ini juga sebenarnya masih relevan dalam kondisi saat ini (tahun 2025) meskipun kecerdasan buatan berkembang begitu rupa, tetapi manusia sendiri tenggelam dalam berbagai distorsi dan “pembodohan” media sosial (misalkan saja konten remeh temeh yang sama sekali tidak membangun, namun justru sangat digemari, juga kualitas interaksi & komunikasi langsung antarsesama manusia malah semakin menurun). Dalam esai ini, Pdt. Stephen Tong memberikan peringatan akan bahaya global dalam bentuk potensi perang nuklir, AIDS, krisis lingkungan, dan kerentanan sosial (dalam bentuk kriminalitas). Melalui esai ini, dijelaskan dengan detail mengenai sejarah, perkembangan & kebahayaan dari pemikiran evolusi dan komunisme. Dalam konteks kerentanan dan bahaya global, Pdt. Stephen Tong mengajak dan menantang terutama pemuda-pemudi untuk bisa menjadi manusia yang berbobot, menggumulkan tantangan zaman, memikirkan arah & opsi solusi ke depan yang berbasiskan Firman Tuhan dan pimpinan Roh Kudus. Saya pribadi juga sangat berharap ada sebagian pembaca PILLAR yang terjun ke sektor publik & sosial di Indonesia, dan bisa menjadi bagian dari solusi dari tantangan bangsa ke depan.
Penutup: Bagaimana Respons Kita
Dalam konteks kondisi Indonesia dalam seminggu terakhir, banyak yang berdiskusi dan akhirnya bertanya kepada saya: apa yang bisa kita lakukan? Memang tidak mudah dalam merespons pertanyaan ini, apalagi ketika kita menghadapi tantangan kompleks dari berbagai dimensi secara bersamaan / serentak. Di saat yang sama, saya masih berharap akan belas kasihan Tuhan dan mengenai prinsip ragi. Kita bisa melakukan bagian kita masing-masing (menabur ragi) dan mengerjakan dengan setia. Dalam waktu yang tidak bisa kita prediksi dan pahami segala pergerakan detailnya, ragi tersebut bisa mengkhamirkan adonan.
Sebagai penutup dari refleksi singkat ini, mungkin saya bisa membagikan beberapa poin praktis bagi para pembaca PILLAR:
- Kita tidak harus langsung terburu-buru mencari “solusi praktis”. Ada waktu dan tempatnya bagi kita untuk terus berdoa, bahkan meratap, sambil terus berharap.
- Dalam berbagai konteks kita saat ini (pekerja kantor, pelajar, guru/dosen, anggota keluarga, aparat negara, buruh, petani, peternak, dll), tetap lakukan tanggung jawab kita sebaik mungkin sambil terus melihat dan berharap kepada Tuhan.
- Ketika seandainya ada yang mengalami musibah ataupun kesulitan, tetap berharap kepada Tuhan, sambil terus menggumulkan untuk bisa mengasihi dan mengampuni sesama kita.
- Jika kita dalam kapasitas menegakan keadilan (e.g. aparat hukum, pimpinan perusahaan, pimpinan instansi pemerintah), kerjakan bagian kita dengan setia untuk membawa shalom dalam kondisi yang sulit. Jika kita di pihak korban, ada waktu & tempat untuk memohon dan berseru agar Tuhan bisa menyatakan keadilannya, mungkin tidak harus sekarang / waktu dekat, tetapi bisa saja di waktu-waktu yang akan datang.
- Dalam jangka panjang, terus menggumulkan apa panggilan kita, atau apa yang Tuhan bebankan dalam hidup kita, baik untuk Indonesia, ataupun bagi negara lain di mana kita berada.
This is my Father’s world:
O let me ne’er forget
That though the wrong seems oft so strong,
God is the Ruler yet.
(This is My Father’s World, Maltbie D. Babcock)
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh rubrik: iman dan pekerjaan (faith & vocation)
Referensi Bacaan untuk eksplorasi lebih jauh:
Perjuangan Menantang Zaman. Editor: Hendra G. Mulia
Essay on Religion, Science and Society. Herman Bavinck