Latar Belakang Masalah
Surat kabar itu terus dibaliknya, seolah ia tahu betul bagian yang ingin dicapainya. Seksi Ekonomi, Investasi, dan Keuangan menjadi santapan rutin yang tidak boleh terlupakan. Pandangannya langsung tertuju dan terpana kepada kumpulan daftar angka-angka mungil dan rapi yang bagi kebanyakan orang mungkin sangat membosankan. Dia membaca dengan sangat teliti dan saksama harga-harga saham yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. Hasilnya, sebagian di antaranya mengalami kenaikan, tetapi sebagian harga-harga lainnya mengalami penurunan. Kepalanya langsung tertunduk lemas ketika ia melihat harga saham perusahaan yang dipilihnya sebagai ladang investasinya turun sebesar 15 basis poin.
Mungkin sepenggal cerita di atas tidak asing lagi bagi masyarakat kelas menengah atas, daerah perkotaan yang semakin bertambah jumlahnya di Indonesia. Pilihan mereka tidak lagi hanya sebatas memenuhi kebutuhan primer dan sekunder seperti makanan hingga perumahan, namun juga pada berbagai kemungkinan produk investasi sebagai suatu cara untuk mengamankan dan melindungi kesejahteraan mereka di masa depan. Sebagian dari mereka membeli produk-produk pasar uang, modal, dan perbankan yang menjadi incaran mereka semata-mata untuk mendapatkan keuntungan tanpa harus giat bekerja.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, agaknya pengalaman ini juga meresap dan berdampak pada praktik kehidupan orang Kristen. Kita sebagai tubuh Kristus juga diperhadapkan dengan pilihan-pilihan untuk melakukan investasi sebagai satu hikmat pengelolaan keuangan. Secara sederhana, mungkin kita berpikir bahwa berinvestasi sah-sah saja selama tidak berlebihan dan tidak menjadikan hati kita terbelenggu kepada ketamakan atau keserakahan. Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat Korintus menuliskan prinsip tersebut: “… Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun” (1Kor. 6:12).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengembangkan sikap anti investasi pada saham atau obligasi. Selain itu juga tidak bermaksud untuk memupuk sikap anti pasar modal yang menjadi tulang punggung sistem perekonomian modern. Penulis percaya bahwa pasar adalah anugerah umum yang bila dikelola dengan adil dan efisien akan memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun pertanyaan yang harus digumulkan bersama oleh kita ialah adakah seperangkat nilai yang menjadi “roh” sektor keuangan dunia saat ini? Jikalau ada, nilai-nilai seperti apakah itu? Apa dampaknya terhadap perilaku investasi masyarakat dan individu? Bagaimanakah pandangan dunia Kristiani memandu kita dalam berinvestasi? Maka, tulisan ini hadir untuk memberikan suatu penjelasan yang berdiri di atas fondasi iman Kristen sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sektor Keuangan Indonesia
Sektor keuangan atau dapat disebut juga sebagai pasar keuangan berkembang pesat pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) yang pertama. Lebih tepatnya pada saat Pembangunan Lima Tahun (Pelita) tahap keempat di mana pemerintah setuju untuk mengembangkan pasar keuangan sebagai alat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sebelumnya, pada Pelita ketiga, terjadi suatu perdebatan besar antar ahli ekonomi yang menjadi staf ahli kepresidenan di mana golongan pertama menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan program sosial, sedangkan golongan kedua percaya kepada pasar keuangan sebagai pemacu utama pembangunan di Indonesia. Tentu saja perdebatan ini tidak luput dari bertarungnya aliran pemikiran ekonomi pada masanya. Pilihan telah diputuskan, dan Indonesia mulai membangun dengan kokoh sektor keuangannya.
Sebelumnya, kita perlu memahami pengertian sistem keuangan. Pada esensinya, sistem keuangan melakukan fungsi ekonomi dengan menjadi saluran dana dari orang-orang yang memiliki surplus dana karena memperoleh pendapatan yang lebih besar dari pengeluarannya kepada orang-orang yang kekurangan dana karena pengeluaran mereka lebih besar dari pendapatan mereka. Sistem keuangan menjadi suatu wadah yang memungkinkan bertemunya penabung-pemberi pinjaman dengan peminjam-pengguna dana. Hal ini tidak dapat selalu berarti negatif karena peminjam bukan berarti selalu orang yang bersifat konsumtif. Contohnya, dalam suatu masa tertentu, sebuah keluarga membutuhkan sebuah rumah. Pinjaman dari bank dapat menjadi suatu jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan tersebut selama penghasilan keluarga itu dapat membayar cicilan pinjamannya. Seperti adanya pasar barang dan jasa membawa suatu manfaat yang lebih besar kepada masyarakat karena adanya efisiensi dan pertukaran, maka pasar keuangan dapat membuat perekonomian berjalan lebih efisien. Rumah tangga dapat memenuhi kebutuhannya dan perusahaan dapat mengembangkan bisnisnya.
Saluran dana yang merupakan fungsi sistem keuangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu saluran keuangan langsung (direct finance) dan saluran keuangan tidak langsung (indirect finance). Apakah perbedaan di antara kedua saluran keuangan ini? Pertama, saluran keuangan langsung adalah wadah yang mempertemukan pemberi pinjaman dan peminjam dalam pasar yang disebut sebagai pasar keuangan (financial market). Instrumen keuangan yang dijual dalam pasar ini adalah obligasi, saham, dan surat berharga lainnya. Instrumen-instrumen pasar keuangan mempunyai jangka waktu panjang dan pendek. Pasar keuangan untuk instrumen jangka waktu panjang lebih dikenal dengan istilah Pasar Modal (saham dan obligasi) dan untuk instrumen jangka pendek disebut Pasar Uang (surat berharga pasar uang). Pasar modal di Indonesia diselenggarakan oleh lembaga pemerintah di bawah Kementerian Keuangan, yaitu Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Pasarnya sendiri disebut Bursa Efek Indonesia (Indonesia Stock Exchange).
Kedua, saluran keuangan tidak langsung adalah lembaga perantara keuangan yang berfungsi untuk menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Termasuk dalam kategori ini adalah bank umum swasta dan pemerintah. Namun ada beberapa institusi keuangan yang tergolong lembaga perantara keuangan, yaitu perusahaan asuransi dan perusahaan investasi. Lembaga ini berperan sebagai pasar keuangan namun tidak mempertemukan secara langsung pihak yang memiliki surplus dana dengan pihak yang kekurangan dana. Dengan maraknya kartu kredit, pinjaman tanpa agunan, produk reksadana, dan produk asuransi tentulah tidak asing lagi kita mengetahui kehadiran lembaga-lembaga perantara keuangan.
Kembali kepada Pelita keempat, maka pada masa itu pemerintahan Orde Baru melalui Bank Indonesia memberikan kemudahan bagi para pengusaha untuk masuk mendirikan bank-bank swasta. Program pemerintah untuk membangun sektor keuangan ditandai dengan hadirnya ratusan bank swasta dari yang bermodal besar hingga kecil. Dapat dibayangkan harga yang harus dibayar adalah regulasi perbankan menjadi longgar. Pada tahun 1977 Presiden Soeharto meresmikan pasar modal pertama di Indonesia, yang pada waktu itu masih bernama Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan segera diikuti dengan Bursa Efek Surabaya (BES). Selanjutnya kedua bursa ini digabung menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketika pemerintah fokus pada pembangunan sektor keuangan maka investor asing pun mulai berduyun-duyun datang membawa dana mereka untuk menanamkan investasinya di Indonesia.
Tidak ada yang menyangka, sektor keuangan Indonesia dihantam badai krisis pada tahun 1997 satu bulan setelah World Bank mengeluarkan laporan pembangunannya untuk negara-negara di Asia termasuk Indonesia. Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa Indonesia siap menjadi negara industri baru yang memiliki pertumbuhan ekonomi sangat ajaib, yaitu rata-rata 7,0 % per tahun. Krisis tersebut memorakporandakan seluruh bangunan ekonomi Indonesia yang dibangun sepanjang masa Orde Baru, 32 tahun lamanya. Bank-bank dilikuidasi, di-merger, dan dijual kepada pihak asing. Perusahaan-perusahaan terlilit hutang dan menutup pabrik-pabriknya. Akibatnya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) menjadi suatu keharusan dan pengalaman pahit yang harus dipikul oleh angkatan kerja. Tidak hanya itu, krisis moneter itu memicu terjadinya krisis politik dan sosial bahkan krisis multidimensi yang pelik sehingga menggetarkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerusuhan Mei 1998, penembakan mahasiswa, lengsernya Presiden Soeharto dari jabatan kepresidenannya, dan lahirnya reformasi menjadi peristiwa-peristiwa sejarah yang mewarnai pengalaman kita. Lalu pertanyaannya bagi kita ialah apa penyebab krisis ekonomi tersebut?
Permasalahan: Kapitalisme
Para ahli ekonomi mengambinghitamkan hutang luar negeri yang sangat tinggi sebagai penyebabnya sehingga perekonomian Indonesia berdiri di atas dasar yang sangat rapuh. Para ahli hukum menyalahkan KKN dan lemahnya sistem hukum yang dipraktikkan selama masa Orde Baru. Para ahli politik, sosial, agama, dan bidang lainnya mempunyai argumennya masing-masing. Bisa saja semua ini memang menjadi penyebabnya karena manusia memang diciptakan Tuhan sebagai makhluk multiaspek. Namun penulis mempunyai argumen bahwa runtuhnya sektor keuangan Indonesia disebabkan sektor tersebut dikelola dengan semangat atau arah yang salah sehingga melanggar esensinya sendiri. Semangat itu lahir dari suatu asumsi filosofis yang mereduksi manusia hanya sebagai makhluk ekonomi (homo oecomicus).
Asumsi ini dibangun oleh pemikir ekonomi klasik yang bernama Adam Smith. Pada tahun 1776 Smith menerbitkan bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation. Smith sendiri sebenarnya adalah seorang filsuf moral yang juga menerbitkan buku The Theory of Moral Sentiments pada tahun 1759. Dia mendambakan masyakarat bersahabat yang harmonis dan memiliki solidaritas di antara anggotanya. Selanjutnya dia mengembangkan teori simpati sebagai dasar hidup bermasyarakat. Namun ketika ia menyelidiki natur masyarakat pasar bebas, dia memodifikasi teori simpati tersebut bukan lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri melainkan berubah menjadi alat untuk mencapai kemakmuran individu-individu dalam masyarakat. Bukan kebaikan hati seorang tukang roti ataupun tukang daging yang membuat mereka melakukan pertukaran atau perdagangan, melainkan semata-mata kepentingan mereka sendiri (self-interest) sebagai individu yang mendorongnya bekerja dan melakukan perdagangan di dalam pasar.
Namun jikalau setiap anggota masyarakat dibiarkan mengikuti motif kepentingannya sendiri, bukankah akan melahirkan masyarakat yang liar serta kacau-balau? Sebab itu, rasa simpati bagi Smith tetap diperlukan agar individu dapat mengerti dan memenuhi kebutuhan orang lain dengan tujuan agar kepentingan dirinya terjamin dan tercapai. Keadilan dalam kacamata pasar bebas dilihat sebagai transaksi ekonomi yang bersifat timbal balik yang memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak. Kepentingan individu, kebebasan, dan efisiensi menjadi slogan-slogan yang diteriakkan dan mendasari perilaku ekonomi manusia. Pertumbuhan ekonomi yang meroket pada negara-negara maju, selain oleh perkembangan teknologi produksi juga disebabkan oleh “roh” zaman pementingan diri yang terus berusaha mengoptimalkan produksi dan konsumsi. Pandangan dunia yang dijiwai oleh “roh” tersebut disebut kapitalisme. Kapatalisme bertumbuh menjadi suatu sistem ekonomi yang kuat dan mendunia.
Sejak abad ke-19 hingga kini, sistem ekonomi kapitalisme yang mendewakan kuasa pasar bebasnya menjadi sistem ekonomi yang dianut oleh negara-negara maju termasuk Indonesia. Sebenarnya, menurut UUD ’45 Republik Indonesia, sistem ekonomi kita adalah Ekonomi Kerakyatan (Pancasila) yang memberikan peran seimbang kepada pemerintah dan swasta dalam mengelola perekonomian. Namun sejak Orde Baru dimulai, Presiden Soeharto membuka pintu lebar-lebar kepada investor dari negara-negara maju khususnya Amerika Serikat dan Jepang. Tak dapat dipungkiri, kapitalisme mekar dan bertumbuh subur di Indonesia melalui program-program ekonominya yang menggunakan pasar sebagai alat utama untuk mengatur alokasi sumber daya ekonomi masyarakat.
Tahapan-tahapan pembangunan Indonesia sangat bercirikan teori Barat padahal setiap negara berkembang memiliki keunikan nilai-nilai budaya dan sosialnya masing-masing. Tidak ada satu teori ekonomi yang dapat digunakan untuk semua kondisi negara berkembang. Termasuk pola pembangunan sektor keuangan di Indonesia. Semangat untuk memupuk modal sebesar-besarnya sebagai wujud pementingan diri menggerogoti kearifan nilai-nilai budaya bangsa, yaitu semangat gotong royong. Mengorbankan aturan regulasi yang harusnya sangat ketat untuk sektor keuangan, sehingga fondasi perekonomian nasional kita sangatlah lemah. Tidak heran, Indonesia tergelincir sangat dalam akibat krisis ekonomi 1997. Tidak berhenti sampai di situ, pola ini pun juga terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang juga mengalami krisis di sektor keuangan sebagai akibat ketamakan para CEO perusahaan-perusahan investasi dan industri perbankan. Akibatnya regulasi melemah dan terjadilah krisis. Apakah berhenti sampai di situ? Tidak, pada tahun 2011 Eropa pun mengalami krisis keuangan yang dampaknya masih terasa hingga kini. Penyebabnya juga dimulai dari sektor keuangan yang terlalu ekspansif di Yunani dan Spanyol sehingga berdampak kepada negara Eropa lainnya.
Analisis Cara Pandang Kristiani
Kapitalisme mereduksi manusia hanya sebagai makhluk ekonomi. Tuhan Allah yang menciptakan manusia dalam dimensi temporal memperlengkapi manusia dengan banyak aspek, dari numerik hingga iman, dari biologis hingga estetika, dari rasio hingga etika. Aspek ekonomi hanyalah salah satu aspek yang Tuhan ciptakan sebagai cerminan kemuliaan Allah. Allah melaksanakan pekerjaan-Nya secara ekonomis, tetapi Allah juga melaksanakan segenap karya-Nya di dalam kemurahan, kasih setia, dan keadilan. Sebagai gambar dan rupa Allah kita pun meneladani-Nya. Akan tetapi berbeda dengan antropologi kapitalisme, ekonomilah yang menjadi pendorong dan tujuan satu-satunya manusia sehingga eksistensi dan makna hidupnya ditentukan hanya oleh faktor ekonomi. Antropologi jenis ini sangat berbahaya karena melahirkan sifat ketamakan, keserakahan, kompetisi yang kebablasan, dan menjadi bom waktu bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Krisis ekonomi menjadi suatu siklus yang pasti datang menghampiri kita layaknya musim hujan atau kemarau.
Pasar keuangan pada esensinya adalah suatu hal yang baik, tapi apabila dijiwai dengan semangat kapitalisme maka motif kita dalam melakukan investasi akan direduksi semata-mata untuk memupuk kekayaan dan kemakmuran pribadi. Kekayaan akan mudah sekali menjadi berhala dalam hati kita menggantikan Kristus yang seharusnya menjadi Raja atas hati kita. Permasalahannya bukan pada struktur, karena pasar merupakan interaksi ekonomi yang Tuhan berikan untuk mengalokasi sumber daya ekonomi yang cenderung langka untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia. Yang telah rusak adalah arahnya di mana tidak lagi berpusatkan pada Kristus sebagai akar yang menyatukan totalitas aspek kehidupan manusia, melainkan digantikan dengan homo oecomicus sebagai pusat dari segala sesuatu.
Semangat seperti apakah yang harus memandu kita sebagai warga Kerajaan Allah dalam melaksanakan kegiatan ekonomi termasuk berinvestasi? Pandangan dunia Kristiani memberikan suatu makna dan arah yang jelas dan sejati. Cerita Kerajaan Allah membentuk pandangan dunia Kristiani yang melahirkan moral dan etika Kristiani. Cerita tersebut dapat dibagi menjadi empat babak besar, dimulai dari kisah penciptaan yang menceritakan Allah yang personal dan transenden menciptakan Kerajaan-Nya di dunia. Namun kisah itu dilanjutkan dengan peristiwa kejatuhan dan pemberontakan manusia dalam dosa yang memisahkannya dengan Allah. Manusia memberontak terhadap pemerintahan Allah dan memilih untuk menjadikan dirinya sebagai pusat segala sesuatu. Sejak peristiwa itu, manusia senantiasa memiliki kecenderungan untuk berdosa dan hidup dalam perbudakan dosa. Babak ketiga merupakan inisiatif Allah di dalam sejarah umat manusia untuk menebus dan mengembalikan segenap ciptaan di bawah pemerintahan Allah di dalam Kerajaan-Nya. Puncaknya adalah kedatangan Yesus untuk mati untuk menanggung dosa manusia, menyatakan pengampunan Allah, dan mengembalikan segenap ciptaan untuk memuliakan Dia. Kerajaan Allah akan mencapai kesempurnaannya pada babak keempat, yaitu pada saat Yesus datang kedua kalinya ke dunia untuk melaksanakan penghakiman dan menghadirkan langit dan bumi yang baru.
Bila kita menggunakan kacamata pandangan dunia Kristiani, maka kita dapat memahami beberapa prinsip penting yang dapat memandu kita dalam melakukan investasi dalam pasar keuangan. Pertama, Tuhan menciptakan manusia tidak hanya sebagai makhluk ekonomi melainkan juga sebagai makhluk sosial. Maka antropologi manusia lebih tepat jika manusia dipandang sebagai homo socius oeconomicus. Implikasinya, nilai keadilan harus menemani nilai efisiensi di dalam memandu perilaku ekonomi. Kedua, kejatuhan manusia membawa manusia kepada kecenderungan untuk bersikap reduksi, yaitu manusia hanya sebagai makhluk ekonomi. Implikasinya, nilai keadilan dimatikan sedangkan nilai efisiensi dijunjung tinggi sebagai rasionalisasi tindakan ekonomi manusia. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin menjadi buah dari sikap reduksi ini. Ketiga, penebusan Kristus membawa shalom Allah hadir kembali di dunia. Aspek ekonomi manusia ditebus dengan cara diintegrasikan kembali dengan aspek-aspek hidup manusia lainnya. Aspek ekonomi turun takhta dan Kristus kembali menempati kursi Kerajaan-Nya dalam hati kita. Implikasinya, nilai keadilan sosial kembali dihidupkan dan diperjuangkan kembali sebagai bentuk kesaksian kita di tengah “pasar” yang gelap dan kotor. Keempat, perjuangan kita untuk melaksanakan keadilan sosial tidak akan pernah sempurna dan selesai hingga Kristus datang kedua kali untuk melaksanakan penghakiman terakhir dan menghadirkan langit dan bumi yang baru. Implikasinya, selama kita dianugerahkan kehidupan di dunia, panggilan kita bukan berorientasi pada hasil semata tetapi juga pada prosesnya, yaitu kesetiaan kita mengerjakan panggilan kita di tengah dunia ini.
Langkah Konkrit dalam Berinvestasi
Bagaimana prinsip-prinsip tersebut kita terapkan secara konkrit? Gunakanlah penghasilan kita dengan bijaksana termasuk dalam memilih produk investasi. J.M. Keynes menjelaskan ada tiga motif dalam memegang uang, yaitu motif transaksi, motif berinvestasi, dan motif berjaga-jaga. Motif transaksi diperlukan dalam memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari. Motif berjaga-jaga diperlukan untuk situasi yang tidak terduga seperti kedukaan dan penyakit. Motif investasi diperlukan untuk melindungi kita terhadap kebutuhan-kebutuhan yang mungkin timbul di masa depan. Maka pandangan dunia Kristiani memberikan minimal satu motif lagi, motif keempat, yaitu motif tanggung jawab sosial. Motif ini menjadi arah bagi ketiga motif sebelumnya. Kita bertransaksi untuk membeli barang atau jasa, kita berinvetasi pada saham atau obligasi, dan kita berjaga-jaga dengan menabung harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat minimal di lingkungan terdekat kita.
Kita memiliki tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kualitas hidup saudara-saudara kita, tidak terbatas pada orang Kristen saja tetapi juga yang berbeda agama dengan kita. Kesaksian yang hidup dalam aspek ekonomi adalah ketika kita belajar memerhatikan kebutuhan orang-orang yang berkekurangan di sekitar kita dengan cara yang bijak dan membangun. Inilah perspektif baru di dalam berinvestasi, membangun manusia seutuhnya, bukan membangun modal.
Jika ini menjadi semangat kita maka perilaku berinvestasi kita juga akan menjadi berbeda pula. Kita akan memiliki komitmen jangka panjang dalam menanamkan dana kepada suatu instrumen pasar keuangan. Kita akan belajar untuk memilih perusahaan yang layak mendapatkan dukungan dana kita. Perusahaan tersebut akan kita perhatikan perkembangan dan kinerja, tidak hanya dari sisi perolehan laba tetapi juga perlakuannya terhadap para karyawannya dan perhatiannya terhadap pelestarian lingkungan dan alam. Motif spekulasi yang bersifat jangka pendek dan oportunis akan kita jauhi dan matikan karena motif inilah yang membuat pasar keuangan menjadi tidak stabil dan jatuh pada krisis.
Tidak cukup sampai di situ, kita juga mengerti bahwa sektor keuangan tidak terpisahkan dengan sektor riil, maka kita harus memastikan dana yang kita tanamkan harus berguna bagi perusahaan pengguna dana kita untuk mengembangkan bisnisnya secara nyata, yaitu menciptakan produk yang berkualitas dan mampu menyediakan lapangan bagi tenaga kerja Indonesia. Sikap yang kritis terhadap instrumen-instrumen keuangan yang hanya berakumulasi secara angka tetapi tidak secara nyata harus selalu dipegang teguh. Jikalau fondasi sektor keuangan Indonesia diharapkan maju, maka harus dibangun di atas dasar yang kokoh, yaitu nilai kebenaran-keadilan.
Sebagai penutup, motif tanggung jawab sosial sebagai wujud nilai keadilan tidak dapat diterapkan dengan kekuatan individu-individu semata. Diperlukan komunitas yang saling mendukung dan membangun untuk menghidupi prinsip ini. Oleh sebab itu, orang-orang Kristen yang dipanggil untuk berkecimpung dalam pasar harus membentuk komunitas yang menggumuli prinsip ini bersama-sama sehingga dapat menghadapi isu-isu perekonomian baru yang terus muncul. Perlu dibuat komunitas pengamat dan pelaku pasar keuangan yang terus menggumuli integrasi iman dengan aspek ekonomi sehingga kesaksian kita dapat sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Selamat belajar berinvestasi dalam kesaksian iman yang sejati.
Anthony A. Salim
Guru Ekonomi Sekolah Kristen Calvin
Referensi:
Aris Ananta, Muljana Soekarni, Sjamsul Arifin, The Indonesian Economy: Entering A New Era (Singapore: ISEAS, 2011).
Latif, Yudi, Requim DIni, Krisis Finansial dan Krisis Demokrasi, LP3ES: Majalah Prisma, No.1 (Vol. 28, Juni 2009), hal. 15-23.
Mishkin, Frederic S., The Economics of Money, Banking, and Financial Markets 6th Edition (USA: Addison Wesley, 2003).
Herry-Priyono, B., Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial, Jurnal Diskursus, Vol.6, No.1 (April 2007), hal. 1-40.
Walsh, Brian J., J. Richard Middleton, Visi yang Membaharui: Pembentukan Cara Pandang Kristen (Jakarta: RIP, 2001).
I. Wibowo, B. Herry Priyono, Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hal. 87-132.
Wolters, Albert M., Pemulihan Ciptaan (Surabaya: Penerbit Momentum, 2009).