Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah lepas dari sistem. Coba kita ingat-ingat lagi kegiatan kita setiap harinya. Mulai dari bangun tidur, mandi, sarapan, ngobrol dengan keluarga dan teman, naik kendaraan ke sekolah/universitas/kantor, chat dengan teman, berolahraga, liburan ke daerah/negara lain, dan seterusnya. Sistem merupakan sesuatu yang begitu nyata, terus berjalan, terus kita gunakan, dan terus memberikan pengaruh, baik kita sadari maupun tidak. Mulai dari sistem transportasi, sistem komunikasi, sistem informasi, sistem ekonomi dan keuangan, sistem produksi, sistem sosial, sampai sistem di dalam tubuh seperti sistem respirasi, sistem pencernaan, dan sistem peredaran darah. Lebih jauh lagi, dalam program-program pendidikan tinggi, ada begitu banyak pilihan jurusan yang mempelajari cara merencanakan, membangun, mengatur, dan melakukan implementasi berbagai macam sistem secara lebih spesifik.
Menurut Oxford English Dictionary, definisi kata “sistem” adalah:
Sejumlah hal atau barang yang berkerja bersama sebagai bagian dari sebuah mekanisme atau jejaring yang kompleks secara keseluruhan.[1]
Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisinya pun tidak berbeda jauh:
Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.[2]
Dalam artikel ini, kita akan sama-sama memikirkan tentang “sistem” melalui kasus menara Babel yang tercatat di dalam Kejadian pasal 11. Meskipun dalam konteks ini tidak ditemukan kata “sistem” secara harfiah, tetapi secara esensi pengertian itu sudah ada. Melalui kasus ini, kita bisa melihat usaha manusia untuk membangun sesuatu (baca: sistem tertutup) yang pada akhirnya Tuhan intervensi dan gagalkan secara total dengan satu langkah “sederhana”.
Dalam kasus ini, manusia memiliki suatu rencana untuk melakukan suatu megaproject. Semua berawal dari tendensi yang sebenarnya bertentangan dengan perintah Tuhan. Tuhan memerintahkan untuk memenuhi bumi. Tetapi manusia, yang memiliki satu bahasa dan satu logat, justru malah bergerak dan berkumpul ke arah Timur. Ketika mereka menjumpai tanah datar di tanah Sinear, mulailah muncul ide untuk memulai satu proyek besar yang melibatkan banyak “project sponsors, stakeholders, dan users”. Akhirnya proyek tersebut mulai dijalankan. Manusia bekerja keras untuk membuat komponen-komponen kecil untuk tujuan membangun suatu mekanisme dan struktur yang lebih besar dan kompleks. Mulai dari mengambil bahan-bahan dasar untuk membuat batu-batu bata dan tanah liat, sampai menggunakan bahan-bahan dasar ini untuk merencanakan pembangunan sebuah kota. Bahkan ada perencanaan untuk membangun menara yang tinggi sampai ke langit sebagai centrepiece dari kota megah tersebut.
Pembangunan ini jelas bukanlah hal yang mudah. Ada banyak aspek yang perlu dipikirkan dan digarap dengan ketat dan serius. Mulai dari tata kota, aspek administrasi, manajemen sumber daya, teknik pembangunan, dan masih banyak lagi. Kita, terutama yang bekerja dalam bidang teknik akan sangat mengerti kompleksitas hal ini [3]. Karena dalam proses dari mencari dan mendiskusikan ide, melakukan formulasi rencana, dan mengeksekusi pasti banyak masalah dan tantangan yang harus diselesaikan. Apalagi jika banyak faktor, pihak, dan dimensi yang terlibat dan perlu dipertimbangkan.
Manusia yang mulai membangun sistem, bisa sangat mungkin jatuh dalam godaan untuk mengilahkan sistem yang dibuat, dan tentunya mengilahkan diri sendiri yang membuat sistem tersebut. Bukankah kita pernah mendengar kasus-kasus seperti ini? Misalnya saja orang kaya yang sanggup mengerti dan mengelola sistem ekonomi dan sistem keuangan, akhirnya membuat “istana harta karun” yang berlimpah dan merasa tidak perlu Tuhan. Ataupun ilmuwan yang membangun teori dan kerangka pikir yang sangat solid, kokoh, dan komprehensif (menurut dia saat itu), dan kemudian merasa diri begitu pintar dan justru meninggalkan Tuhan. Atau seorang pemimpin yang mampu membangun kota yang megah dan mengagumkan, kemudian merasa bahwa dirinyalah yang berjasa besar dalam membangun kota tersebut dari nol. Mereka semua membangun suatu sistem tertutup, merasa diri berkuasa, dan berpikir tidak butuh intervensi Tuhan sama sekali. Bukankah hal ini tidak jauh berbeda dengan kasus menara Babel?
Kita tahu bahwa Tuhan akhirnya tidak berkenan, dan terlebih lagi, Tuhan mengacaukan secara total rencana besar mereka dengan hanya satu langkah intervensi. Intervensi ini kemudian menjadi suatu masalah ultimat bagi seluruh ahli dan teknisi yang terlibat dalam mengerjakan proyek tersebut. Tuhan memberikan mereka masalah yang membuat mereka tidak bisa lagi memiliki kesanggupan dan kapasitas untuk memecahkan masalah-masalah lainnya! Tuhan melakukan satu langkah “sederhana” dengan cara mengacaukan bahasa mereka. Checkmate! Kita semua tahu bahwa dalam suatu proyek dan sistem, komunikasi adalah satu aspek yang begitu fundamental dan kritikal, dan harus ada dalam setiap fase proyek dan aspek-aspek dalam suatu sistem.
Hilangnya aspek komunikasi akhirnya meninggalkan satu lubang besar menganga yang kemudian menghancurkan segala perencanaan dan cita-cita mereka. Mereka tidak dapat lagi berdiskusi, membagikan ide, ataupun menyelesaikan kendala-kendala yang ada secara bersama-sama. Proyek pembangunan sistem kota dan menara itu pun langsung terancam menuju jurang kegagalan total.
Kalau kita perhatikan, apa sebetulnya kesalahan para pembangun dan perencana kota dan menara Babel, sehingga Tuhan turun dan menghukum mereka? Bukankah mereka sedang “memperkembangkan budaya” yang juga adalah perintah Tuhan? Bukankah Tuhan mau manusia untuk mengelola alam dan mengatur segala sumber daya di bumi? Sampai di sini, kita bisa memerhatikan kembali motivasi mereka ketika mereka merencanakan untuk membangun kota pada ayat 4. Mereka hanya ingin satu hal, yakni ingin “cari nama” supaya mereka “jangan terserak” ke seluruh bumi.
Ketika Tuhan menciptakan manusia, Tuhan memberikan perintah, bukan hanya untuk mengelola alam, tetapi juga untuk memenuhi bumi [4]. Dan Tuhanlah yang berhak memberi nama kepada manusia, bukan manusia yang mencari nama untuk dirinya sendiri [5]. Dan hanya nama Tuhan yang patut ditinggikan lebih dari segala nama. Terlebih lagi, menara yang mau sampai ke atas langit merupakan pernyataan bahwa manusia ingin mencapai tempat di mana Tuhan berada dan ingin “menjadi seperti Tuhan” [6]. Jadi pada dasarnya motivasi manusia dalam rencana ini adalah untuk mengambil posisi Tuhan sebagai yang berada di langit! Padahal alam harus dikelola untuk menjalankan kemauan Tuhan dan memuliakan Tuhan, bukan untuk melawan atau ingin menggantikan Tuhan [7]. Mungkin juga mereka ingin mencapai langit karena dengan berdiri di atas sana mereka dapat melihat dari jauh dengan luas segala sesuatu yang sedang terjadi di bumi dan menjadi “mahatahu”. Manusia cenderung mau tahu segala sesuatu dan mengontrol segala sesuatu dan ingin merencanakan masa depan yang dipandang baik oleh diri sendiri. Pada akhirnya, pembangunan pun berhenti, orang-orang ini pun terserak, dan ironisnya kota itu benar-benar mendapatkan sebuah nama, tetapi bukan nama yang baik maupun termashyur, tetapi namanya adalah Babel, yang bahasa Ibraninya berasal dari akar kata balal yang berarti “membingungkan” atau “mencampuradukkan”[8].
Ketika para pembangun kota merencanakan, mereka sama sekali tidak melibatkan atau memikirkan tentang Tuhan dan kehendak-Nya; tidak ada Tuhan di dalam pembicaraan mereka, maka Tuhan akhirnya mengacaubalaukan semua pembicaraan mereka. Di dalam kehidupan kita masing-masing, memang baik jika kita memiliki keinginan untuk merencanakan dan membangun sesuatu. Di dalam bidang IT (Information Technology) atau teknik pun selalu harus ada perencanaan dan eksekusi yang baik untuk setiap proyek yang kita lakukan. Tetapi janganlah kita lupa, sebelum berencana lebih kita harus berpikir apa motivasi kita ketika kita ingin merealisasikan rencana ini? Sebelum kita mau melakukan sesuatu mari minta petunjuk dari Tuhan, apa yang berkenan bagi-Nya, mencari kehendak Tuhan lewat firman. Barulah kita berdiskusi dengan sesama, dan dapat bersama-sama menghargai penyertaan Tuhan dalam segala langkah sampai jadi. Tuhan dapat memakai segala cara untuk menggagalkan kehendak kesombongan manusia, dan sebaliknya dapat memakai segala cara untuk menyertai orang-orang yang menjalankan kehendak-Nya. Karena jadi atau tidak jadinya sesuatu tergantung Tuhan, dan bukan kepandaian kita semata-mata.
Maka, marilah kita hidup rendah hati di hadapan Tuhan dan selalu memiliki damai sejahtera ketika kita bergantung pada kuasa-Nya. Jadi bagi kita yang sedang menggunakan dan membangun suatu sistem apa pun, sebenarnya apa yang sedang menggerakkan kita, apa yang kita pikirkan, dan apa tujuan kita? Apakah kita akhirnya membuat sistem yang justru memperalat diri karena kita mengilahkan sesuatu yang bukan Tuhan? Atau kita sadar sistem tersebut adalah suatu karya (baca: alat atau ciptaan) yang semata-mata adalah anugerah Tuhan dan harus dipertanggungjawabkan kepada Dia? Biarlah kehendak-Nya jadi di bumi seperti di sorga, dan nama Tuhan, bukan nama kita, yang dimuliakan. Soli Deo Gloria!
Albert Lowis
Pemuda GRII Singapura
Endnotes:
[1] Ditranslasi oleh penulis dari: http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/sistem
[2] http://kamusbahasaindonesia.org/sistem.
[3] Bukan hanya dalam proses pembangunan kota yang lebih dekat dengan teknik sipil, konsep membuat hal kompleks dari hal yang lebih kecil kalau mau dipikirkan secara luas, bisa kita coba bayangkan dalam bidang kita masing-masing. Misalnya “batu bata” dan “tanah liat” dalam bidang elektronika adalah transistor-transistor, atau dalam bidang Computer Programming “batu bata”-nya adalah “Object” di dalam paradigma Object-Oriented Programming, atau mesin-mesin kecil dan gerigi-gerigi dalam konteks suatu sistem manufaktur yang begitu rumit.
[4] Kejadian 1:28.
[5] Kejadian 1:26 – kata manusia di sini dalam bahasa aslinya adalah “adam” yang merupakan bahasa Ibrani untuk “manusia” secara general dan akhirnya dipakai untuk menjadi nama manusia pertama. Dalam terjemahan LAI, kata “Adam” pertama kali keluar di Kejadian 4:25. Dalam terjemahan bahasa lain mungkin kata ini sudah dipakai lebih awal.
[6] Tiga poin ini dipelajari oleh penulis dari kelas Survey Perjanjian Lama oleh Pdt. Billy Kristanto.
[7] Konsep ini bisa kita lihat dari cerita-cerita di Kitab Kejadian sebelumnya, seperti Nuh yang membuat kapal dari kayu (suatu pekerjaan yang sedikitnya melibatkan ilmu maritim dan perkapalan) dan Habel yang mempersembahkan hasil pekerjaannya.
[8] Catatan dari ESV Study Bible untuk Kejadian 11:9.