Natal hari ini merupakan sebuah perayaan yang sangat identik dengan suasana yang gemerlap, penuh keceriaan, dan suasana pesta yang disertai dengan kemeriahan. Di berbagai belahan dunia, momen Natal selalu menjadi hiburan yang fantastis bagi banyak orang. Namun, di tengah-tengah begitu gemerlapnya suasana Natal yang kita alami setiap tahun, berapa banyak orang yang sadar akan seberapa sunyinya sebuah malam pada saat Natal itu pertama kali hadir di dunia ini. Seberapa sunyinya pintu-pintu penginapan yang ada di sebuah kota bernama Betlehem. Dan seberapa sunyinya sebenarnya hati kita selama ini terhadap Allah, sekalipun kita berada di tengah-tengah gemerlapnya fantastisme Natal yang terlalu sering membius setiap orang Kristen…
“…because there was no place for them in the inn.” – Luke 2:7
Apa sih yang sebenarnya terjadi di malam Natal yang pertama kali? Pernahkah kita melihat ada seorang raja yang sangat berkuasa, datang berkunjung ke sebuah daerah kekuasaannya sendiri, namun tidak ada rakyatnya yang menyambut? Tidak pernah… Seorang raja ketika berkunjung, pastilah ia disambut dengan sangat meriah, disediakan tempat menginap yang terbaik, makanan yang terbaik, pelayanan yang nomor satu, dan sebagainya. Namun sangat ironis bahwa hal demikian tidak terjadi ketika Sang Raja, Pencipta langit dan bumi, lahir ke dalam dunia ciptaan-Nya sendiri dan tidak ada tempat bagi Dia. Alkitab mencatat: “..lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” Tetapi… bukankah pada akhirnya Dia disambut juga? Memang Ia akhirnya disambut oleh ciptaan-Nya. YA… Ia disambut dengan serdadu Herodes yang datang hendak menangkap dan membunuh-Nya.
Sebuah hal yang sangat ironis ketika kita merenungkan siapa sebenarnya Sang Raja, Pencipta langit dan bumi itu…
Pribadi yang mengetahui segala sesuatu (Yoh. 16:30; 21:17) namun harus menjadi manusia yang “bertumbuh dalam hikmat” (Luk. 2:52).
Pribadi yang tidak pernah kekurangan akan segala sesuatu (Kis. 17:25) namun harus menjadi manusia yang dapat lapar dan haus (Mat. 4:2; Yoh. 19:28).
Pribadi yang menciptakan dan memiliki segala sesuatu namun harus menjadi manusia dan tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Mat. 8:20).
Kenapa Ia datang menjadi manusia? “Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Yesus Kristus adalah Allah yang lahir menjadi manusia yang terbatas, bahkan dapat mati sehingga kita yang seharusnya binasa karena hukuman dosa kita sendiri, beroleh hidup. Sedemikian kasih-Nya akan dunia ini, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16). Natal adalah penggenapan perjanjian Allah yang menjadi pengharapan bagi seluruh umat manusia. Namun sadarkah manusia ketika penggenapan janji itu datang? TIDAK!!! Sunyinya malam itu telah menggambarkan sunyinya hati manusia yang tidak mengenal Penciptanya dan bahkan menolak-Nya. “He came unto his own, and his own received him not..” – John 1:11.
TIDAK ADA TEMPAT BAGI ALLAH
Alkitab mencatat bahwa pada hari kelahiran Sang Juruselamat, tidak ada kamar penginapan bagi-Nya. Kisah ironi ini bukan hanya berhenti sampai di sana, sepanjang hidup-Nya pun Ia – Pemilik segala sesuatu – tidak mempunyai tempat bagi-Nya. “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Mat. 8:20). Dari lahir, hidup, sampai mati, Ia tidak memiliki tempat di dunia ini. Semasa pelayanan-Nya, Ia berkhotbah di atas perahu milik orang lain. Ia menunggangi keledai milik orang lain. Ia memberikan makanan kepada orang-orang dengan meminjam lima roti dan dua ikan dari orang lain. Ia melakukan perjamuan terakhir di ruangan milik orang lain. Ia dikuburkan di kuburan milik orang lain. Bahkan ia menyerahkan diri-Nya untuk mati dengan mengambil salib milik orang lain… yaitu milik ANDA dan SAYA.
Secara tragis, ironi Natal ini terus terjadi di masa ini meskipun 2.000 tahun telah berlalu. Kristus masih sering kali tidak mendapat tempat dalam dunia ini, bahkan dalam hidup kita sebagai orang-orang yang duduk di bangku-bangku gereja yang menamakan diri kita umat-Nya. Apakah Kristus sudah bertakhta di dalam hati kita, menempati, dan menguasai apa yang memang adalah milik-Nya? Ketidakpedulian kita akan hal ini merupakan suatu dosa besar, kecelakaan, dan kehancuran yang pasti bagi umat Allah yang merayakan Natal.
Secara praktis, sikap hati yang salah mungkin dapat terlihat dari sikap kita dalam merayakan Natal. Tidak sedikit orang akan merasa risih ketika liburan Natal mereka diinterupsi oleh hal-hal yang berbau religius. Berapa banyak orang yang lebih mengutamakan “damai liburan Natal” mereka daripada serentetan KKR, NREC, kebaktian Natal yang diselenggarakan bertepatan dengan jadwal liburan mereka?
Selain itu, kita mungkin juga dapat melihat dari fokus dalam lagu-lagu Natal yang “booming” hari ini. Lagu Natal yang populer mungkin adalah lagu-lagu yang berpusat pada Rudolph dengan hidung merahnya, atau berpusat pada Pak Tua dengan kereta saljunya, atau bahkan berpusat pada pohon natalnya itu sendiri, namun tidak lagi berpusat pada Kristus. Sehingga, ketika Aula Simfonia Jakarta akan mementaskan Christmas Oratorio karya J.S. Bach yang menceritakan kedalaman makna Natal di mana Kristus menjadi pusat, seberapa banyakkah orang yang tertarik untuk mendengarkan dan merenungkannya?
Berapa banyak perayaan Natal hari ini yang berlangsung tanpa Kristus di dalamnya? O.. Christless Christmas. Hal di atas hanyalah sedikit contoh yang mungkin dapat dijabarkan ketika kita mau dengan jujur meneliti hati kita. Jika demikian halnya, sekalipun kita berbingar-bingar merayakan Natal, tetapi sesungguhnya tidak ada Kristus di sana.
Christless Christmas… Apa sebenarnya yang menyebabkan hal ini terjadi? Bukan karena kita tidak tahu siapa itu Kristus. Kita yang sudah terlalu banyak mendengar kisah Natal pada khotbah Natal setiap tahunnya. Mari jujur, permasalahannya ada pada sikap hati kita terhadap Tuhan.
Di dalam Alkitab dicatat seorang bernama Herodes yang “merayakan” Natal secara Christless Christmas. Herodes merupakan orang yang tahu mengenai kelahiran Yesus, karena dia diberi tahu oleh orang majus bahwa telah lahir seorang raja Yahudi dan dikonfirmasikan oleh para imam di sekitarnya. Lantas, Herodes yang tahu akan hal itu mengapa ia mengalami Christless Christmas? Karena ia mempunyai satu masalah, yaitu karena pada saat itu dia adalah Raja Yahudi.
“WE WANT TO BE KING”
Seruan hati demikian sangat mungkin terjadi atas Saudara dan saya. Sejak Kejadian 3, manusia selalu ingin menjadi Allah. Kita mungkin sanggup saja mengamini bahwa Tuhan adalah Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Kita mungkin juga tidak berambisi untuk menguasai segala sesuatu, namun satu hal buruk yang sering kali terselubung, yaitu: Tuhan boleh berkuasa atas banyak hal, kecuali atas teritori saya. Tuhan boleh berkuasa, asal jangan berkuasa atas wilayah saya. Saya adalah tuan atas hidup saya dan keinginan saya. Ini toh adalah tubuh saya, liburan saya, hidup saya, milik saya… Tuhan jangan campuri akan hal-hal itu… TITIK.
Hari ini, sikap hati seperti Herodes yang demikian sangat mungkin muncul dalam diri kita. Sikap hati yang tidak mau menyerahkan takhta hidup ini kepada Kristus. Karena jika Kristus tidak menjadi Tuan atas segala sesuatu, maka Ia bukanlah Tuhan. (If He cannot be Lord of all, He will not be Lord at all). Kita tidak dapat menerima-Nya sebagai Juruselamat, tanpa menjadikan-Nya Tuhan dan Raja atas hidup kita. Inilah sebabnya mengapa Herodes (dan kita hari ini) mengalami Christless Christmas.
Selain Herodes, ada sekelompok orang yang juga mengalami Christless Christmas di hari Natal, yaitu para imam kepala dan ahli Taurat. Mereka adalah sekelompok orang yang juga tahu akan kelahiran Yesus, bahkan mereka adalah orang-orang yang meneliti janji Allah tersebut. Selain itu, mereka juga mendengar dari Herodes akan perkataan orang majus yang semakin mengonfirmasi kebenaran janji itu. “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala” (Mi. 5:1). Ya, mereka tahu, namun apakah mereka ikut bersukacita dan mengejar para orang majus serta ikut melihat dan menyembah bayi Yesus? Tidak! Dan sekali lagi kita melihat bahwa mereka mengalami Christless Christmas. Kenapa?
“TIDAK BUTUH KRISTUS”
Sikap hati yang menganggap diri cukup dan mampu, sering kali menjauhkan manusia dari Kristus. Orang-orang seperti ini tidak lagi akan pernah memohon pertolongan dari Allah karena ia merasa standar diri ini cukup dalam menghadapi masalah apa pun dalam hidup. Permasalahan orang-orang seperti ini adalah mereka tidak sadar akan masalah yang sebenarnya ada dan dialami pada diri mereka sendiri.
Alkitab mengatakan bahwa kelahiran Kristus ke dalam dunia merupakan kabar sukacita! Ya… kabar sukacita yang luar biasa bagi seluruh bumi. Apa kabar itu? Yaitu bahwa seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai (Yes. 9:5). Hmm… oh ya? Lalu?
Banyak orang hari ini yang sulit untuk bersukacita mendengar berita tersebut. Mereka tidak terlalu antusias ketika mendengar penggenapan janji yang merupakan solusi penyelesaian dari penyakit akut mereka. Bahkan orang Kristen pun tidak lagi antusias dalam mengabarkan dan mengajak orang lain mengenal akan “obat” ini, karena mungkin mereka memang tidak sungguh-sungguh sadar akan penyakit mematikan yang dideritanya. Mereka tidak sungguh-sungguh menderita karena penyakit tersebut sehingga enggan meminta untuk pertolongan.
THE “DISEASE” OF SIN
Namun, ya itulah dosa. Ia akan membawa kita pada ketidaksadaran akan bahaya yang terjadi, dan menjauhkan kita dari Kristus sebagai satu-satunya yang sanggup menyelamatkan kita. Dosa akan memecahbelahkan hidup ini menjadi hidup yang tanpa Kristus bertakhta di dalamnya. Ini adalah masalah serius yang menjangkiti setiap kita manusia berdosa.
Namun, Natal sungguh adalah berita sukacita. Penyakit dosa yang mematikan itu telah dipatahkan oleh seorang Juruselamat yang telah lahir 2.000 tahun yang lalu. Seorang Bapa Gereja, Agustinus, pernah berkata dalam khotbah Natalnya:
You would have suffered eternal death, had he not been born in time. Never would you have been freed from sinful flesh, had he not taken on himself the likeness of sinful flesh. You would have suffered everlasting unhappiness, had it not been for this mercy. You would never have returned to life, had he not shared your death. You would have been lost if he had not hastened ‘to your aid. You would have perished, had he not come.
Ia yang telah menggantikan hukuman dosa yang seharusnya kita tanggung. Ia mati menggantikan posisi yang seharusnya kita bayar. Sehingga kita boleh hidup dan mempersembahkan hidup ini kembali kepada Dia yang memiliki dan berkuasa atas segala sesuatu.
Marilah kita sadar, karena untuk Kristuslah kita hidup. Mari kita bertobat dari dosa kita dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat atas hidup kita. Memohon agar Kristus memerintah dan memimpin sepanjang hidup kita serta memakainya bagi kemuliaan Dia dan Kerajaan-Nya.
Ach mein herzliebes Jesulein,
Mach dir ein rein sanft Bettelein,
Zu ruhn in meines Herzens Schrein
daßich nimmer vergesse dein
Ah, Jesus Child, my heart’s delight!
Make here Thy little bed this night,
My heart will be a shrine for Thee
So dwell Thou there in peace with me.
(From: Bach’s Christmas Oratorio)
Andre Winoto
Pemuda FIRES
Referensi:
1. A sermon by St. Augustine (Sermo 185: PL 38, 997-999).
2. http://www.frame-poythress.org/god-in-time/.
3. Kennedy D. James. A Christless Christmas. Coral Ridge Presbyterian Church in Fort Lauderdale, Florida.