Natal telah tiba! Musim spesial dengan acara yang beraroma merah hijau kembali datang. Di penghujung tahun ini, hadirlah momen-momen seperti tukar kado, Christmas dinner, dan berbagai perayaan-perayaan Natal di gereja. Keceriaan momen ini juga ditambah dengan maraknya diskon-diskon serta liburan akhir tahun yang sudah menunggu. Maka tidak heran ada banyak kesenangan yang terjadi selama momen Natal. Namun, di tengah hiruk pikuk kegembiraan dan sukacita Natal, ada satu perenungan yang saya pikirkan. Jika saya dapat menikmati banyak kesenangan di momen-momen seperti ini, apakah Tuhan juga senang? Jika Tuhan senang, apa yang membuat Dia senang? Apakah kepada momen, situasi, waktu, atau manusia yang Ia ciptakan? Lebih lagi, orang semacam apa yang Tuhan senangi? Sambil melakukan perenungan tersebut ada satu ayat yang saya temukan dan menarik perhatian saya, yaitu di dalam Mazmur 147:11.
TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang berharap akan kasih setia-Nya.
Ayat tersebut memberikan suatu pengertian mengenai orang yang disenangi oleh Tuhan. Di dalam dunia ini, setiap orang ingin disenangi oleh orang lain, terutama oleh orang yang ia kasihi. Perasaan ingin disenangi bahkan terdapat di semua kalangan usia. Seorang anak ingin disenangi oleh orang tuanya. Seorang anak remaja ingin disenangi oleh teman-temannya. Seorang pemuda ingin disenangi oleh pacarnya. Seorang yang sudah tua juga ingin disenangi oleh anak-anak dan keluarga sekalian. Tema disenangi adalah suatu tema yang universal ada pada setiap manusia. Tetapi bagaimana kita sebagai orang percaya dapat disenangi oleh Tuhan?
Berdasarkan ayat yang tadi, kita melihat bahwa ada dua ciri orang yang disenangi Tuhan:
- Orang yang takut akan Tuhan
- Orang yang berharap akan kasih setia Tuhan
Mari kita renungkan kedua ciri ini satu per satu.
Tema disenangi adalah suatu tema yang universal ada pada setiap manusia. Tetapi bagaimana kita sebagai orang percaya dapat disenangi oleh Tuhan?
Orang yang Takut akan Tuhan
Takut akan Tuhan adalah pengertian yang banyak muncul di dalam Perjanjian Lama. Di dalam Kitab Amsal saja terdapat setidaknya 18 kali frasa takut akan Tuhan. Sebagai contoh, di dalam Amsal 1:7, ayat yang terkenal mengenai permulaan pengetahuan, mengaitkan pengetahuan dengan takut akan Tuhan. Namun, apa artinya takut akan Tuhan?
Kata takut sering kali diidentikkan dengan suatu perasaan teror, dihukum, atau bahkan bersalah. Seorang bisa takut dan parno setelah ia menonton film horor di bioskop, bahkan ketika pulang ke rumah, ia tidak berani masuk ke dalam kamarnya yang gelap. Seorang terdakwa bisa takut menghadapi masa tahanan yang akan dijalani karena kesalahan yang telah ia perbuat. Seorang karyawan bisa takut di hadapan atasan yang otoriter dengan kekuasaannya yang besar. Namun, bukan takut dalam nuansa ini yang dimaksud oleh Alkitab ketika berbicara mengenai takut akan Tuhan.
Takut akan Tuhan ada di dalam nuansa sikap hormat dan cinta seorang anak kepada ayahnya. Martin Luther dengan sangat baik memberikan penjelasan mengenai takut akan Tuhan. Di dalam tulisan Luther, Lectures on Galatians (1535), ia membagi dua jenis takut, yaitu servile fear dan filial fear. Servile fear berbicara mengenai ketakutan yang dimiliki oleh seorang tahanan yang akan segera disiksa oleh penjaga penjara. Contoh yang lain adalah seperti seorang budak yang berada di bawah majikan yang kasar dan siap menyiksa dengan tali pecut. Berbeda dengan jenis yang pertama, jenis kedua yaitu filial fear adalah ketakutan yang disertai rasa kagum, hormat, dan cinta seorang anak kepada ayahnya. Ada rasa takut yang bukan karena khawatir dengan penghukuman atau penyiksaan, tetapi karena tidak mau menyakiti hati ayahnya. Pengalaman ini mirip seperti apa yang saya rasakan ketika saya berada di bangku SMA. Saya mencoba belajar dengan baik di dalam sekolah bukan karena takut ada rotan yang akan memukul saya jika saya mendapat nilai ujian yang jelek, tetapi saya takut menyakiti hati orang tua saya jika saya tidak belajar baik di sekolah. Filial fear inilah yang menjadi makna ketika membicarakan takut akan Tuhan. Syukur kepada Tuhan, setiap orang yang percaya memiliki akses kepada relasi ini.
Dalam kehidupan rohani orang percaya, setelah lahir baru, kita dipersatukan dengan Kristus dan menjadi anak Allah Bapa. Bukan sekadar anak saja, namun ada relasi kedekatan yang dimiliki dalam hubungan tersebut. Seperti yang tertulis dalam Galatia 4:6 Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!”. Suatu relasi yang begitu indah, antara kita dan Allah. Bukan sekadar relasi antara ciptaan dan Pencipta, tetapi antara anak dan Bapa. Di dalam relasi ini, kita terus mendorong hati kita untuk takut akan Tuhan. Setiap hari makin hormat dan kagum dengan pribadi Tuhan yang adalah Bapa kita.
Inilah ciri pertama orang yang disenangi Tuhan. Orang yang takut akan Dia. Mari kita lanjutkan dengan ciri kedua orang yang disenangi Tuhan.
Dalam kehidupan rohani orang percaya, setelah lahir baru, kita dipersatukan dengan Kristus dan menjadi anak Allah Bapa. Bukan sekadar anak saja, namun ada relasi kedekatan yang dimiliki dalam hubungan tersebut.
Orang yang Berharap akan Kasih Setia-Nya
Setelah mencoba memahami pengertian takut akan Tuhan, saya mencoba menelusuri pengertian tentang kasih setia Tuhan. Adakah contoh seorang pribadi yang berharap akan kasih setia Tuhan? Di dalam pencarian tersebut, mata saya tertuju kepada seorang nabi yang menyebutkan kasih setia Tuhan di dalam nyanyiannya. Nabi tersebut adalah Musa. Di dalam Keluaran 15:13 tertulis,
Dengan kasih setia-Mu Engkau menuntun umat yang telah Kautebus; dengan kekuatan-Mu Engkau membimbingnya ke tempat kediaman-Mu yang kudus.
Nyanyian Musa adalah nyanyian yang dinaikkan setelah Musa dan bangsa Israel menyeberangi Laut Merah yang terbelah. Mereka baru saja dibebaskan dari bangsa Mesir yang memperbudak mereka. Musa mengerti bahwa bangsa Israel dibebaskan dari tanah Mesir dengan kasih setia Tuhan. Beberapa waktu kemudian, ketika Tuhan menyatakan 10 perintah kepada Musa, Tuhan sendiri mengatakan bahwa Ia akan menunjukkan kasih setia kepada orang yang mengasihi Dia dan berpegang pada perintah-perintah-Nya. Mendengar perkataan Tuhan ini tentu membuat Musa makin mengerti karakter dan pribadi Tuhan.
Jika kita memperhatikan babak-babak selanjutnya dari perjalanan bangsa Israel di padang gurun, ada banyak jatuh bangun, ketidakpercayaan, dan sungut-sungut yang bangsa Israel lakukan. Hal ini memuncak pada Bilangan 14, di mana terdapat kisah 12 pengintai yang sudah kembali dari tanah Kanaan. Ini adalah suatu kisah yang seperti antiklimaks. Sudah bertahun-tahun lamanya bangsa Israel di padang gurun dan tentu mereka ingin sampai ke tanah yang dijanjikan Tuhan. Namun, ketika sedikit lagi sampai di sana, laporan dari 10 pengintai justru menghancurkan mimpi-mimpi indah akan tempat tinggal permanen yang sejahtera. Pengintai-pengintai tersebut membawa kabar bahwa tanah Kanaan tidak dapat diduduki dan dikalahkan. Laporan tersebut bukan sekadar sampai kepada Musa tetapi juga memengaruhi seluruh umat Israel. Setelah mendapat laporan tersebut, segenap umat Israel bersungut-sungut kepada Musa dan Harun. Di sinilah hal yang ironis kembali terjadi, mereka seperti tidak percaya bahwa Tuhan akan menuntun mereka masuk ke tanah Kanaan. Mereka seakan-akan lupa dengan banyaknya tanda dan mujizat yang Tuhan kerjakan bagi mereka. Di situlah Tuhan begitu murka kepada Israel dan mau melenyapkan mereka dengan penyakit sampar.
Israel hampir lenyap pada saat itu. Dalam keadaan yang sangat genting, Musa datang kepada Tuhan, meminta Tuhan tidak melenyapkan Israel dan mengampuni mereka. Apa yang Musa ucapkan kepada Tuhan? Dengan apa Musa meredakan murka Tuhan? Musa mengatakan bahwa nama Tuhan akan dihina bangsa lain jika Tuhan melenyapkan Israel. Namun, tidak hanya tentang hal itu, Musa juga meminta pengampunan dari Tuhan berdasarkan kasih setia Tuhan.
Bilangan 14:19
“Ampunilah kiranya kesalahan bangsa ini sesuai dengan kebesaran kasih setia-Mu, seperti Engkau telah mengampuni bangsa ini mulai dari Mesir sampai ke mari.”
Dalam bagian ini, kita bisa melihat bahwa Musa bukan hanya mengerti dan mengenal tetapi berharap akan kasih setia Tuhan. Akhirnya Tuhan tidak melenyapkan bangsa Israel dan mengampuni mereka. Dari rangkaian kisah ini, saya mendapati bahwa kasih setia Tuhan tidak terlepas dari penebusan dan pengampunan Tuhan.
Dengan kasih setia-Nya, Tuhan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir.
Dengan kasih setia-Nya, Tuhan mengampuni bangsa Israel dari murka-Nya.
Dengan kasih setia-Nya, Tuhan membawa pengharapan bagi umat Israel.
Menariknya, kisah Israel tersebut juga adalah gambaran kehidupan orang percaya.
Dengan kasih setia-Nya, Tuhan membebaskan orang percaya dari perbudakan dosa.
Dengan kasih setia-Nya, Tuhan mengampuni orang percaya dari murka-Nya.
Dengan kasih setia-Nya, Tuhan membawa pengharapan bagi orang percaya.
Di manakah kita bisa melihat kasih setia Tuhan dinyatakan? Kasih setia Tuhan nyata ketika Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dunia untuk menebus manusia.
Yohanes 3:16
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.
Kelahiran Kristus ke dalam dunia adalah tanda kasih setia Tuhan bagi orang percaya. Pengharapan apa yang kita miliki di dalam kehidupan kita? Ketika kita memutar ingatan kita selama satu tahun ke belakang, pengharapan apa yang kita sandarkan di dalam situasi-situasi sulit? Seperti Musa yang berharap akan kasih setia Tuhan, kita diundang untuk juga berharap akan kasih setia Tuhan. Biarlah dalam momen Natal, kita dapat memakai waktu untuk merenungkan kasih setia yang Tuhan berikan selama ini dalam kehidupan kita, dan itu menjadi dasar kita berharap di dalam situasi-situasi hidup mendatang.
Inilah ciri kedua dari orang yang disenangi Tuhan, yaitu orang yang berharap akan kasih setia Tuhan.
Tuhan senang jika umat-Nya makin menjadi orang yang takut akan Dia dan berharap pada kasih setia-Nya. Bersamaan dengan itu, kita mendapatkan suatu pengharapan bahwa kita dapat menjadi orang yang disenangi Tuhan.
- Sang Anak Allah turun ke dunia menjadi manusia, sehingga orang yang percaya diangkat menjadi anak-anak Allah. Kita yang diangkat menjadi anak sekarang memiliki relasi kepada Bapa dengan takut akan Dia.
- Sang Anak Allah turun ke dunia, menyatakan kasih setia Tuhan yang tidak berkesudahan bagi umat-Nya. Kita yang sudah melihat tanda kasih setia tersebut diundang untuk berharap pada Dia.
Melalui kedua hal inilah perenungan saya bagaimana Tuhan senang mendapat perhentiannya. Di dalam momen Natal ini, apakah Tuhan senang jika kita menikmati perayaan-perayaan Natal dengan acara-acara spesial seperti bertukar kado, makan bersama, dll.? Tentu Tuhan tidak melarang untuk kita menikmati kebaikan dari ciptaan ini dan berkat yang Tuhan sendiri berikan. Namun, Tuhan akan senang jika kita melakukannya sambil di dalam penghayatan takut akan Dia dan berharap akan kasih setia-Nya. Jangan sampai ketika kita melakukan acara-acara tersebut, fokus kita teralihkan dan Natal kehilangan maknanya. Biarlah kita menikmati sukacita Natal dan terlebih lagi menikmati Sang Sumber sukacita tersebut!
Vik. Adam Kurnia
Hamba Tuhan GRII Karawaci