Sebuah lagu Natal “Do you hear what I hear?” merupakan sebuah lagu dengan musik yang sangat indah. Lagunya mengisahkan bagaimana sang angin malam berkata kepada seekor domba, “Lihat tidak yang saya lihat? Sebuah bintang besar di langit malam.” Sang domba berkata kepada gembala, “Dengar tidak yang saya dengar? Sebuah lagu dengan suara begitu besar bagaikan suara samudra.” Sang gembala berkata kepada raja dalam istana, “Tahu tidak yang saya tahu? Seorang anak di dalam dingin, mari kita bawakan emas dan perak kepadanya.” Raja berkata kepada orang di berbagai tempat, “Dengarkan saya! Berdoalah untuk damai! Seorang anak akan membawa kebaikan dan terang pada kita.”
Sayangnya raja dalam lagu ini bukan menceritakan raja yang sedang memerintah pada zaman kelahiran Tuhan Yesus. Raja zaman historis itu, Herodes, berusaha membunuh-Nya dan usahanya itu membawa kematian bagi semua bayi laki-laki berumur dua tahun ke bawah di Betlehem dan sekitarnya. Namun akhir yang indah untuk sebuah lagu, bukan? Daripada hanya sekadar angin malam, domba, dan gembala yang mengetahui bahwa malam itu adalah malam yang penting, tentu sudah sepantasnya (demikian pendapat sang penulis lagu) raja menyatakan apresiasinya kepada Sang Bayi Kudus. Walaupun kenyataannya memang sedikit sekali orang penting yang menyadari apa yang terjadi pada Natal itu. Selain gembala, Alkitab hanya menambahkan kerabat-kerabat terdekat Yesus dan orang Majus. Mungkin untuk ukuran dunia, hanya orang Majus sajalah yang terlihat penting. Tapi orang-orang bijak ini pun harus pulang dengan berjingkat-jingkat agar tidak membangunkan murka Herodes. Yesus juga dibawa kabur ke Mesir, bukan untuk tour melihat piramida sebagai ucapan selamat datang di bumi terhadap tamu surgawi, tapi supaya Ia tidak disambut pedang tajam tentara Herodes.
Mengapa Tuhan tidak menempatkan malaikat dengan pedang bernyala-nyala di sekitar tempat Yesus dilahirkan? Sinarnya saja sudah menjadi media publikasi yang paling efektif, “Di sini lahir Raja alam semesta!” Ditambah dengan jari-jari tangan yang menuliskan semua ayat nubuatan kelahiran Mesias di istana Herodes dan sekitarnya ala zaman Daniel. Bagaimanapun juga, itu kan kebenaran. Tuhan Yesus memang adalah Tuhan. Mengapa tidak diumumkan besar-besaran?
Sebuah lagu dari Christmas Oratorio karya Bach mengatakan, “Tuhan yang besar, Raja yang perkasa, Juruselamat yang terkasih, betapa sedikit Engkau memperhatikan kemuliaan dunia ini!” Orang-orang dunia berlomba-lomba menunjukkan diri sebagai yang hebat dalam hidup ini, pada saat ini dan di tempat ini, here and now. Tetapi Tuhan kita, yang kedatangan-Nya memulai suatu era yang baru, yang kedatangan-Nya membagi dua seluruh periode waktu yang ada, dengan sabar menanggung ketidaktahuan (hampir) seluruh dunia mengenai siapa diri-Nya. Sampai kapan? Sampai akhir zaman, ketika Ia akan datang untuk kedua kalinya sebagai Hakim seluruh dunia. Waktunya akan tiba di mana segala kebenaran akan dinyatakan dan keadilan ditegakkan.
Semasa hidup-Nya di dunia, Tuhan Yesus tidak berusaha memublikasikan diri-Nya kepada dunia. Ia hanya menyatakan diri-Nya kepada kelompok yang kecil. Tetapi sebelum Ia naik ke surga, Ia memercayakan tugas menjadi saksi-Nya kepada para murid-murid-Nya, dan tongkat estafet itu diteruskan sampai ke generasi kita saat ini. Lagi-lagi kita mungkin bertanya, “Kenapa Tuhan mau memakai saya yang tidak efektif ini, saya yang bisa salah ngomong ini, saya yang bukan siapa-siapa ini?”
Waktu kita bertanya demikian, tidak tentu pertanyaan kita itu menyenangkan hati Tuhan. Ketika Musa diperintahkan Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir, ia yakin sekali Tuhan sedang membuat keputusan yang salah. Berbagai alasan dikeluarkannya, seperti “Aku tidak pandai bicara” dan “Tuhan, suruhlah entah siapa saja yang lain.” Apakah Tuhan memuji Musa, “Wah, kamu benar-benar hamba-Ku yang rendah hati, Musa…”? Tidak, Tuhan marah kepada Musa. Tuhan bukan marah kepada Musa karena ia menyadari kelemahan dan keterbatasannya. Tuhan marah kepada Musa karena Musa berhenti sampai di situ dan tidak mau melihat kepada Tuhan yang berkuasa jauh lebih besar daripada ketidaksanggupannya. “Siapa yang membuat lidah? Bukankah Aku?”
Kita baru mau maju ketika kita punya cukup keyakinan bahwa kita sanggup. Ternyata bukan itu yang Tuhan mau. Tuhan mau kita maju untuk menyaksikan bahwa Ia sanggup. Kita memang tidak sanggup. Sehebat-hebatnya Musa waktu di istana Firaun, ia tidak akan pernah sanggup membelah Laut Merah dengan tongkat, menyediakan manna setiap hari selama 40 tahun, menyediakan air di padang gurun; tidak ada manusia mortal manapun yang sanggup. Tapi jika Tuhan memanggil kita, semustahil apa pun juga kelihatannya, Tuhan sanggup memakai kita untuk itu.
“Have yourself a merry little Christmas…” Pada akhir tahun ini, kita mungkin menemukan diri kita menyenandungkan melodi yang manis ini. Mungkin disambung dengan impian “I’ll be home for Christmas…” Kalau Anda adalah aktivis di GRII, maaf, lupakan saja. Natal adalah waktu paling sibuk. “You’ll be on the road for Christmas.” Bayangkan saja, ada berbagai kebaktian Natal: Natal Umum, Natal Sekolah Minggu, Natal Persekutuan Remaja, Natal Persekutuan Pemuda, Natal Persekutuan Wanita, Natal Persekutuan Lansia… Paduan suara berlatih lagu Natal begitu sering sampai koster gereja pun hafal liriknya. Sang koster bisa menyanyikan lagu tersebut sambil mempersiapkan ruangan rapat yang setiap minggu minimal dipakai enam kali untuk berbagai persiapan. Tema Natal, waktu kebaktian, budget, poster, harga lilin, dan apakah teks lagu Malam Kudus akan dinyanyikan dalam bahasa Inggris, Indonesia, atau Jerman. Selain itu, ada KKR Akbar yang untuknya Humas harus pergi ke berbagai pelosok sambil bertanya-tanya apakah kunjungan kali ini akan disambung dengan malaikat-malaikat bersukacita di surga, atau sang humas merasa ditertawakan penghuni neraka. Kadang-kadang dalam sharing visi, sang humas merasa sudah sempat memasuki neraka, waktu harus mendengarkan yang namanya “Firman Tuhan” yang ngawur tidak keruan tapi membuat jemaat di sana luar biasa bahagianya. Ditambah lagi retreat NREC. Mudah-mudahan tidak ada orang yang meninggal dan orang baik diharapkan untuk tidak merepotkan gereja dengan menikah di bulan Desember. Anda mengerti maksud saya. Intinya, Natal bukanlah waktu liburan. Natal lebih mirip angin tornado yang menyedot segala waktu dan tenaga ke dalam suatu putaran yang penuh kesibukan dengan kecepatan tinggi menikmati pelayanan kepada Tuhan di akhir tahun.
Bagaimana kita menanggapi panggilan Tuhan dalam waktu Natal ini? Kita bisa berusaha mengerjakan semua dengan kekuatan sendiri, lalu jatuh terduduk di lantai sambil mengomel seperti Marta, entah kepada Tuhan atau kepada orang lain atau kepada Tuhan tentang orang lain yang kelihatannya hidup enak. Kita bisa juga cuci tangan dari semuanya itu, mengatakan, “Saya tidak bisa,” lalu dengan ngawur menganggap diri mirip Maria dan perlu dipuji Tuhan. Tapi kiranya Tuhan membebaskan saudara dari dua ilusi tersebut. Kita harus melihat kepada Tuhan, yang rela datang kepada kita kunyuk-kunyuk sok tahu, dan mengikuti jejak-Nya. Tuhan tidak pernah memanggil orang menjadi ahli doktrin tanpa melayani atau spesialis melayani tanpa dasar doktrin. Ia memanggil kita menjadi murid-Nya, meneladani-Nya. Selama kita masih diberi kesempatan untuk belajar melayani Tuhan kita di dalam kebenaran-Nya, jangan buang-buang waktu. Akan tiba malam, di mana orang tidak dapat bekerja. Karena itu bekerjalah selagi masih siang. Kiranya Tuhan berbelaskasihan kepada kita semua di Natal tahun ini!
Tirza Rachmadi
Mahasiswi STT Reformed Injili Internasional