Pengakuan Iman Rasuli merupakan dokumen terpenting yang merangkum dan menyimpulkan seluruh isi Alkitab menjadi rangkaian kepercayaan Kristen. Dalam bahasa aslinya, bahasa Latin, tiga kali muncul kata credo, yang artinya: saya percaya,[1] masing-masing untuk Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Hanya Tiga Pribadi dan tidak termasuk dunia ciptaan, karena Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah Pencipta. Maka, iman manusia tidak boleh tertuju kepada ciptaan, melainkan harus kepada Pencipta.
Kini kita akan membicarakan Yesus naik ke sorga, yang dimulai dari tiga kredo (“aku percaya”). Di dalam bahasa Latin ada tiga istilah atau bidang penting untuk mengategorikan kebudayaan, yaitu:
1) Aku tahu (Latin: scio). Semua orang yang memiliki pengetahuan boleh mengaku, “Aku tahu.” Mengamati alam memungkinkan manusia untuk mengerti dan mendapat pengetahuan tentang alam. Istilah scio menjadi cikal bakal dari kata Inggris: science, yang artinya ilmu pengetahuan, yaitu segala sesuatu yang saya pahami dan menjadi pengetahuan saya. Ini adalah bidang pertama. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memperhatikan, mengamati, menghitung, merumuskan, dan akhirnya menjadikan bahan studi di dalam lingkup ilmu pengetahuan.
Namun, ada bidang yang tidak bisa diamati, dipelajari, dihitung, dan disimpulkan menjadi pengetahuan, tetapi hanya dapat dipikirkan saja, yaitu bidang filsafat, imajinasi, dan spekulasi pikiran manusia. Sebenarnya, ilmu pengetahuan adalah hal yang paling rendah, karena hanya mengetahui ciptaan yang ada di bawah manusia. Manusia lebih tinggi dari alam, karena alam diciptakan bagi manusia. Alam memiliki rumusan dan dalil yang Tuhan tetapkan, yang disebut sebagai hukum alam (natural law). Segala sesuatu Tuhan tetapkan ada di dalam kondisi dan dalil yang mengikat mereka. Dengan science kita mengubah cara hidup, mempersingkat waktu, dan bisa melampaui ikatan waktu dan tempat.
Manusia mustahil hanya hidup di dalam dunia materi, karena manusia memerlukan emosi, kasih, dan seni; memakai ingatan berjumpa dengan masa lampau, memakai imajinasi dan pengharapan berjumpa dengan masa depan. Pada saat melihat ke belakang, kita melihat sejarah; pada saat melihat ke depan, kita menemukan pengharapan. Oleh karena itu, pikiran mulai beralih dari science menuju kepada “aku berpikir”. Pada saat aku berpikir, aku mulai beralih melampaui alam, melampaui fenomena materi, dan segala dalil natural. Pemikiran itu diberikan Tuhan menjadi kebebasan manusia melampaui ikatan dunia materi.
2) Aku pikir (Latin: cogito). Orang yang memiliki daya pikir yang tajam, kekuatan inovatif yang limpah, dan kreativitas untuk berpikir, akan menjelajahi dunia yang lebih luas, besar, tinggi, bermutu, dan abadi. Tetapi, yang bisa kita pikirkan tetap terbatas. Kita tidak bisa memikirkan yang tidak ada, karena hanya akan menghasilkan mitos. Alkitab berkata bahwa Allah memberikan kemungkinan yang lebih tinggi daripada sekadar scio dan cogito. Manusia diberi kemungkinan untuk melampaui kedua wilayah ini menuju wilayah yang kekal dan tak terbatas.
3) Aku percaya (Latin: credo). Hal terpenting yang manusia miliki, yang melampaui alam, yang bisa diutarakan kepada Tuhan, yaitu hidup beriman. Alkitab menjanjikan, kita akan menuju dunia yang kekal. Inilah hidup yang melampaui keterbatasan inovasi manusia sebagai ciptaan yang terbatas. Di dalam firman yang diwahyukan, kita mendapat realitas kekal dan tidak berubah, mutlak dan tidak statis, di situlah kita menuju ke wilayah iman. Itulah credo. Sebagai orang Kristen, kita diberi wahyu yang darinya kita boleh menanamkan hidup beriman kepada-Nya yang tidak mungkin salah, karena Sang Pewahyu ialah Tuhan yang hidup dan sejati, dan yang memberikan pengertian akan rencana kekal-Nya kepada manusia. Maka, manusia bukan sekadar hidup dalam scio dan cogito tetapi juga dalam credo. Justru Pengakuan Iman Rasuli menyatakan iman kepada Yang-Tak-Terbatas ini, Yang-Tak-Berubah, yang mustahil salah, dan menjamin hidup manusia memiliki makna kekekalan.
Ketiga kondisi ini, menyadarkan kita bahwa bagaimanapun hebatnya kita, kita tetap adalah ciptaan yang terbatas dan terpolusi dosa, maka saya hanya bisa tercengang, mengeluh, dan menantikan hari penebusan Tuhan. Paulus berkata di dalam Roma 8:22-23, “Segala makhluk sama-sama mengeluh… sambil menantikan pengangkatan sebagai anak.” Pada saat itu, kita mengharapkan langit baru dan bumi baru, perubahan tubuh kita, karena Sang Pencipta telah rela turun memberikan ciptaan hidup yang baru.
Butir kedua Pengakuan Iman Rasuli, “Dan pada Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal, Tuhan kita. Yang dikandung Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria…” Kristus dilahirkan menjadi manusia, Firman menjadi daging, di mana manusia yang terbatas tidak mungkin melintasi keterbatasan untuk bersatu dengan Allah, tetapi Allah yang tak terbatas yang memungkinkan-Nya masuk ke dalam keterbatasan, berinkarnasi menjadi manusia, bersalutkan darah dan daging, hidup di tengah kita sebagai manusia. Maka, pertemuan antara ciptaan dan Pencipta menjadi mungkin karena datangnya Kristus ke dunia. Inilah artinya Natal.
“Aku keluar dari Bapa, datang ke dunia, dan Aku akan keluar dari dunia, kembali kepada Bapa.” Allah yang tidak terbatas, turun ke dunia yang terbatas. Ini satu-satunya kemungkinan dunia terkait dengan Allah; manusia berdosa kembali kepada Allah yang suci; yang terbatas boleh menikmati hidup Allah yang tak terbatas; yang relatif kembali kepada Allah yang mutlak.
Firman yang tidak terbatas rela membatas diri dalam darah dan daging sebagai manusia. Inilah inkarnasi, credo kepada Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Iman yang menghubungkan kita dengan Allah yang tidak tampak, yang kekal, yang mutlak, dan yang sejati. Iman itu sendiri harus memiliki keabsahan dari Allah. Alkitab berkata, “Iman datang dari pendengaran.”
Kaum Karismatik, Pentakosta yang antroposentris, dan kaum Liberal, beranggapan bahwa manusia dengan sendirinya telah diberikan insting iman, maka asal manusia beriman pasti akan mendapat berkat. Hanya Theologi Reformed yang memberitahukan bahwa mustahil segala usaha manusia untuk bisa beriman kepada Tuhan. Iman harus ditelusuri mulai dari firman dan wahyu Tuhan, dari sana kita baru mengetahui siapa diri kita, alam itu untuk apa, dan Allah itu bagaimana, sebagai dasar dan potensi yang mengandung bibit iman. Jadi firman dan iman tidak bisa dipisahkan.
Ketika engkau menerima sesuatu yang palsu tetapi menganggapnya benar, maka engkau tidak dapat lagi secara subjektif dari keyakinanmu mengubah yang palsu itu menjadi benar. Istilah penting dalam kebudayaan Yahudi: sejati (genuine). Orang Yahudi percaya Allah yang sejati, firman yang sejati, dan percaya dengan sejati harus dimulai dengan memiliki hati yang sejati untuk dapat menerima firman yang Tuhan yang sejati wahyukan. Hanya dengan cara itu, barulah ada kemungkinan untuk seseorang bisa mendapatkan iman yang sejati. Jadi berbagai elemen ini saling berkaitan satu dengan yang lain. Dengan sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, kita memberikan kesaksian sejati kepada sesama kita, yang mengakibatkan sesama pun boleh beriman kepada Tuhan. Oleh karena itu, credo itu sedemikian penting.
Objek iman menentukan nilai iman. Jika seseorang percaya sungguh-sungguh kepada objek iman yang tidak sejati, yang percaya telah memboroskan imannya kepada yang tidak patut dipercaya. Dalam hal beriman, yang paling menakutkan yaitu percaya kepada ilah yang salah. Bukan karena engkau beriman maka engkau yang menentukan nilai iman; tetapi kualitas objek yang engkau imani itulah yang menentukan nilai imanmu. Credo adalah beriman pada kebenaran yang sejati.
Selama dua bulan saya terus memikirkan hal yang sekarang akan saya ungkapkan. India dan Tiongkok merupakan negara-negara kuno yang berkebudayaan tinggi. Bedanya, India memikirkan hal yang kekal dan tidak mementingkan hidup di dunia. Tionghoa mementingkan hidup di dunia, maka mesti bermoral dan beretika. Upanishad, Kitab Suci Hinduisme, sudah berusia lebih dari 2.500 tahun. Analects, kitabnya Konfusius sudah lebih dari 2.500 tahun. Hanya Alkitab yang berusia lebih dari 3.500 tahun. Di antara semua agama dan kebudayaan, Alkitab adalah kitab yang paling kuno, yang terbaik, terakurat, dan termutlak.
Setelah 2.500 tahun, di India cuma ada 7,8 juta orang Buddhis, sedangkan Tiongkok memiliki 800 juta sampai 1 miliar orang Buddhis. Secara esensial, kebudayaan Tionghoa kurang dalam 3 hal: a) Siapa Allah; b) Ke mana manusia setelah mati; dan c) Bagaimana cara manusia memperkenan Allah. Kebudayaan Tionghoa hanya memperhatikan relasi yang baik antara suami-istri, anak-orang tua, pejabat-rakyat, persaudaraan, persahabatan, dan kehidupan moral-etis dalam masyarakat. Ini Lima Pertalian Moralitas Tionghoa. Maka, kekosongan agamawi yang tidak ada dalam kebudayaan Tionghoa langsung diisi Buddhisme, yang memikirkan bagaimana boleh hidup bahagia dalam kekekalan.
Tetapi, Buddhisme pun tetap memiliki kekurangan, karena mereka tidak mengetahui siapa Allah. Mereka hanya tahu dalil moralitas sebab-akibat. Jika berbuat baik, setelah mati akan reinkarnasi menjadi manusia. Jika berbuat tidak baik, setelah mati akan reinkarnasi menjadi hewan. Apa yang tidak ada pada Buddhisme, ada pada Hinduisme. Setelah memiliki Sakyamuni, India tetap tidak bisa menjadi Buddhis, karena ia membuang empat kasta yang sudah mendarah-daging dalam kebudayaan India.
Pengharapan Tionghoa pada Komunisme mengalami kekecewaan, lalu kekristenan masuk dan berkembang pesat dalam dua belas tahun terakhir, sedangkan India tidak merasa kecewa dengan Hinduisme, maka mereka tidak mau menjadi Kristen. Tiongkok selalu ditekan tradisi kuno, sampai Sun Yat-sen memperkenalkan kebudayaan demokrasi ke Tiongkok sekitar tahun 1911. Lima belas tahun kemudian, Mao Zedong membawa Komunisme melawan Kapitalisme, demokrasi, serta tradisi kuno, dan menjadikan Tiongkok negara Komunis.
Dalam masa sepuluh tahun (1966-1976), kepercayaan dan pengharapan rakyat pada Komunisme hancur. Ternyata melalui Komunisme, Mao menipu rakyat Tiongkok dan terbongkar satu per satu. Setelah sadar dan kecewa, hati mereka pun menjadi kosong. Timbullah pertanyaan, “Adakah kebenaran di dunia?” Sekitar 2.600 tahun dan 2.650 tahun yang lalu Tiongkok menghasilkan Konfusius dan India Sakyamuni. Kedua orang ini memiliki persamaan: Sakyamuni tidak percaya kasta, Konfusius pun tidak percaya lapisan masyarakat. Kita tidak boleh memisahkan manusia kaum bangsawan, kaum menengah (mediocre), dan kaum budak. Sistem empat kasta Hinduisme melawan kemanusiaan, maka Sakyamuni tidak setuju dengan Hinduisme. Konfusius juga tidak setuju adanya perbedaan lapisan dalam masyarakat, maka Konfusius menerima sekitar 3.000 murid untuk belajar filsafat, di antaranya ada pedagang besar dan ada tukang pikul barang.
Di masa Konfusius, dunia pendidikan tidak mengenal diskriminasi lapisan sosial. Konfusius menjadi revolusioner yang agung, salah satu guru terbesar dalam sejarah, maka kaum miskin di Tiongkok saat itu pasti bisa sekolah. Saya kira ini salah satu hal terpenting dalam kebudayaan Tionghoa, maka orang Tionghoa tidak dibuang oleh Tuhan.
Orang Tionghoa juga tidak pernah menjajah dan membunuh bangsa lain, sedangkan Jepang sempat memerkosa dan membunuh sekitar 320.000 wanita cantik di Tiongkok pada sekitar Agustus 1937 hingga 1938 di Nanjing. Ketika sebuah museum tentang pembantaian Jepang dibangun, di mana semua foto pembantaian yang ditemukan dipamerkan di sana, peristiwa ini mendapat perhatian seluruh dunia, karena dahulu dunia Barat tidak percaya bahwa orang Jepang bisa begitu kejam. Kini semua apa yang terjadi telah terbongkar. Yang paling menakutkan, pada tahun 2017 lalu, wakil Perdana Menteri Jepang berkata, “Biarlah kita menyatakan fakta yang pernah terjadi dalam sejarah dunia. Jepang memang memerkosa dan membunuh wanita-wanita Tionghoa.” Jepang terkejut, karena pengumuman ini mempermalukan orang Jepang. Karena tepat selama 80 tahun (1937-2017), orang Jepang sama sekali tidak mau mengakui bahwa mereka bersalah. Allah sejati harus mendapat respons yang selayaknya: iman yang jujur, yaitu credo.
Pengakuan Iman Rasuli ditulis dengan “Credo” pada Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus, dan bagian Allah Anak memiliki isi yang paling panjang, karena inti iman pada Allah, melalui Roh Kudus yang membawa Kristus dalam hati, dan melalui Kristus memimpin kembali kepada Allah Bapa. Istilah credo, di dalam bahasa Yunani adalah pistos. Dalam Latin, ada istilah lain yang umum untuk iman, yaitu fide (Ing. faith).
Objek iman menentukan nilai iman. Tuhan patut diimani, karena dengan kesetiaan, ketidakberubahan, dan belas kasihan Ia mewahyukan kebenaran, maka kita tidak perlu takut dipermainkan, karena Allah tidak pernah menipu manusia. Jika engkau memiliki suami yang tidak menipumu dan ayah yang sungguh mendidikmu dengan jujur, engkau menjadi orang yang berbahagia. Jika engkau memiliki Tuhan yang memberikan wahyu yang sejati, dan engkau beriman dan menaati firman-Nya, engkau berbahagia. Itulah makna credo dengan sesungguh-sungguhnya.
“Aku percaya kepada Allah yang sejati dan sungguh mencintai kita,” namanya credo. Allah memberikan kebenaran, maka kita bisa berharap menerima kebenaran dengan interpretasi yang jujur. Maka, pendeta yang baik, yang belajar, mengerti firman, dan jujur dalam mengutarakan, khotbahnya akan berbeda. Alkitab tidak pernah berkata, siapa yang percaya Yesus pasti akan kaya. Tetapi ucapan itu muncul di beberapa gereja tertentu. Itu penipuan, karena tidak mau belajar firman Tuhan dengan benar dan menganggap diri benar. Gereja yang baik bukan yang banyak jemaatnya, karena banyak gereja mengumpulkan ribuan orang lalu menutup telinga mereka agar tidak mendengarkan kebenaran.
Beriman sungguh kepada yang sungguh patut diimani, inilah tugas orang Kristen. Tuhan kita adalah Tuhan yang sejati, yang patut dipercaya, yang mewahyukan diri-Nya, dan kita harus sungguh beriman kepada-Nya.
Inilah yang disebut credo. Aku percaya kepada Allah, aku percaya kepada Kristus, aku percaya kepada Roh Kudus. Hanya tiga kali kata credo muncul dalam Pengakuan Iman Rasuli aslinya. Hanya tiga kali kata credo menyatakan Allah yang sejati, dan kita harus jujur mengikuti apa yang diwahyukan. Iman Kristen datang dari pendengaran. Sekarang kekristenan di Indonesia dilanda penipuan dari mimbar yang tidak belajar, tidak setia, dan tidak mengerti, hanya berteriak bersuara keras yang menyenangkan telinga dan berani berkhotbah, lalu langsung ribuan orang datang dan dicuci otaknya, dibius pikirannya, dilumpuhkan rasionya, asal percaya saja. Agama memiliki unsur yang membunuh iman, makin membaca Kitab Suci makin tidak mengerti tetapi makin merasa beriman. Inilah iman tanpa pengertian.
Alkitab tidak demikian. Orang-orang Reformed Injili tidak boleh begitu. Kita harus memberitakan firman dengan sungguh, bertanggung jawab, jujur, teliti, dan akurat, agar jemaat mengenal firman dan menyatakan iman yang jujur dan sejati pada Tuhan. “Aku mengerti Siapa yang aku percaya.” Dengan iman yang sejati pada Allah sejati, imanmu bertumbuh. Kristus sudah berinkarnasi, mati, dikuburkan, turun dalam kerajaan maut, bangkit pada hari yang ketiga, dan empat puluh hari kemudian naik ke sorga. Tetapi Yesus naik ke sorga jangan hanya dimengerti setelah mati, bangkit, baru naik ke sorga.
Alkitab berkata, saat di atas salib Ia berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Saat yang sama tabir di Bait Allah yang memisahkan Ruang Kudus dan Ruang Mahakudus terbelah menjadi dua dari atas ke bawah. Ini mujizat besar. Karena tabir itu bukan di Bait Allah yang dibangun Salomo atau Zerubabel, tetapi dibangun oleh Herodes yang puluhan kali lebih besar daripada rumah ibadah biasa, termasuk Bait Allah buatan Zerubabel. Salomo membuat Bait Allah yang besar, tetapi tidak lebih besar dari Bait Allah buatan Herodes. Herodes seorang yang ambisinya liar, sangat egois. Ia bukan orang Yahudi, tetapi bisa dipilih oleh pemerintah Romawi untuk menjadi raja Israel. Untuk membuktikan bahwa ia bisa memimpin, dibuatnya Bait Allah terbesar untuk membius orang Yahudi bahwa ia pemimpin mereka yang baik dan agar mereka tunduk di bawah pemerintahannya.
Para pemimpin dunia dan politikus tahu bagaimana memperalat agama sebagai alat agar manusia percaya padanya. Tetapi, menurut saya, Bait Allah yang didirikan Herodes berfungsi hanya satu kali saja, yaitu saat tabir terbelah dua dari atas sampai bawah. Tabir yang sedemikian besar, tinggi, dan beratnya, sehingga memerlukan sekitar 300 orang untuk bisa menaikkannya ke atas, menunjukkan bahwa ketika tabir itu terbelah, itu bukan kuasa manusia.
Hanya dua kali tangan Allah langsung campur tangan. Pertama, terjadi di istana Belsyazar, tangan Allah menulis di dinding: “Mené, mené, tekél ufarsin.” (“Sudah dihitung Allah masamu, tuanku telah ditimbang neraca dan didapati terlalu ringan, kerajaan tuanku dipecah dan diberikan pada Media dan Persia.”) Itu tulisan tangan Tuhan, bukan manusia, berupa kalimat nubuat yang menakutkan. Peristiwa kedua, tangan Tuhan muncul di Bait Allah dengan membelah dua tabirnya dari atas sampai bawah, membuktikan sudah tidak perlu lagi manusia menjadi imam besar yang masuk ke dalam Ruang Mahakudus. Tuhan sudah merobeknya dan membuka jalan yang baru melalui kematian Kristus. Maka, saya percaya, sebelum bangkit, Yesus sudah naik ke sorga. Naik ke sorga sebelum naik ke sorga. Artinya: Pada saat Yesus mati, bangkit, maka empat puluh hari kemudian Ia naik ke sorga. Secara kronologis, setelah kematian dan kebangkitan-Nya, empat puluh hari kemudian barulah Ia naik ke sorga. Tetapi, secara rohani, Yesus sudah naik ke sorga pada saat di atas salib dan berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, kenapa Engkau meninggalkan Aku?” Amin.
Endnotes:
[1] Dalam versi bahasa Indonesia hanya dua kali muncul istilah “Aku percaya, …”